Friday, September 30, 2005

DA PUPU PROJECT

Mencintai adalah mengagumi dengan hati,
Mengagumi adalah mencintai dengan pikiran
--Theophile Gautier—


Namanya Pupu. Lebih jauh, nama lengkapnya Pupu Marfu’ah. Percaya atau tidak, she gives the best influence to my self. Ini adalah ceritanya…
Kalau aku merenung di tengah keheningan malam, lantas aku teringat salah satu perintah Allah, yaitu sholat , anehnya aku teringat akan Pupu.
Tentu saja, aku sudah mengenal sholat sejak kecil, dari mulai guru ngajiku yang pertama, uztad Mian, hingga guruku yang sekarang. Namun kalau bicara soal patuh atau tidak, lantas apa sebenarnya yang mengawali kita shalat –tentunya selain takut kena marah orang tua— maka Pupu selalu ada dibenakku.
*
Masa SMU, kelas satu, enam tahun yang lalu.
Saat istirahat, aku sedang bermain corat-coret buku di pojok kelas, rasanya jemu sekali di kelas ini, maklum masih masa penataran. (kami siswa baru masih mengenakan celana pendek SMP) Mau jajan di kantin, takut kena plonco senior.
Iseng, mataku mengamati sekerumunan anak perempuan yang baru masuk. Sekumpulan berjilbab. Kalau teman-temanku mengatakan itu sepasukan ninja. Aku termasuk baru dengan pemandangan ini, karena masa SD-SMP belum ada kawan satu sekolah yang mengenakannya, termasuk kalangan keluarga.
Ada satu yang menarik diantara mereka. Wajahnya manis blasteran sunda dengan arab. Namun, bukan itu semua yang menarik perhatianku, entah apa, tapi rasanya ia punya sesuatu daya yang buat aku merasa respect dengannya.
Sang jilbab manis menghampiriku. Ia rupanya menyadari pandangan mataku yang mungkin sangat menusuk.
“Kamu nggak sholat Ashar?” itu yang terlontar dari bibirnya yang lembut.
Aku menjawab dengan enteng,”Gue cuma pake celana pendek, nih.”
Ia menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, “Nih pakai sarungku saja, ayo sebentar lagi bel masuk.”
Aku agak bingung sejenak dengan sarung yang diulurkan itu, lantas aku raih dan kubawa langkahku keluar kelas. Yah, mungkin lebih baik ke musholla, toh di sana kan gak ada senior yang mengganggu.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Pupu.
*
“Andri kamu sudah sholat?” begitu selalu pertanyaan yang diajukan gadis bernama Pupu itu setiap kali masa istirahat hampir usai. Aku menjawab, ”Sudah.” Ia pasti akan berkata, ”Alhamdulilah.” Lantas ia akan bertanya jika aku punya kesulitan dengan pelajaran Fisika. (Pupu kuat sekali di Fisika, sedang aku hanya peduli pada sejarah, dan payah sekali pada Fisika)
Suatu saat,
Rasa malas senantiasa ada. Ditambah dengan racun yang datang dari diskusi dengan kawan-kawan tongkrongan sembari merokok kala istirahat.
“Andri kamu sudah sholat?” tanya Pupu seperti biasa. Ia kaget ketika aku hanya menggeleng.
“Pu, kalau sholat sehari ada lima kali, dan setiap kali kita sholat kita dapat satu pahala, maka kita bisa aja sholat tiga kali, jadi dosa yang dua diimpasin sama yang dua. Trus kita sehari dapat pahala satu. Gitu khan?,” demikian ujarku padanya.
Mata Pupu menatap tidak suka, “Kalau sekali aja tidak sholat, itu dosanya 27 hari sampai kapan pun gak akan bisa bayar!” kata-kata itu dilontarkan dengan nada ketus, ia lantas berbalik menuju mejanya.
Aku cuma bengong dan diam seribu bahasa. Kalau bisa aku ingin langsung lari ke musholla, tapi bel masuk keburu bunyi.
Ia mencuekin aku selama sisa hari itu. Begitulah yang terjadi kalau aku malas atau lalai, mendingan jangan ketemu Pupu deh.
Tapi Pupu senantiasa tampil di keesokan harinya dengan pertanyaan yang sama.
Aku menjawab, “Sudah.”
Pupu akan gembira dan berkata, “Alhamdulilah.”
Ia lantas meminta teman sebangkunya untuk pindah. Aku diajaknya duduk disampingnya. Aku boleh menyalin peer-nya, aku boleh membaca catatan pelajaran yang dibawanya.
Tapi yang paling sering adalah ia mengajakku diskusi tentang agama, dimana aku dapat bertanya macam-macam kalau aku tidak tahu, atau aku akan pamer pengetahuanku, namun aku pasti akan kalah, makhluk yang bernama Pupu ini luar biasa dahsyat pengetahuan umumnya.
Itulah yang terjadi, bahkan saat aku dengan tiba-tiba membawa dalil boleh sholat cuma tiga kali model Syiah, beserta dalil-dalil hadits yang memperkuat dasar hukumnya. Pupu dengan sabar, dan argumentasi cerdasnya dapat meng-counterku
Dari Pupu lah aku mengetahui kalau golongan berjilbab itu bernama akhwat. Dan memandang dengan menatap lurus pada seorang wanita itu tidak boleh (he he itu yang paling susah), Pupu pula yang menberi penjelasan pada rasa keingintahuanku yang besar.
Seperti ketika aku mendengarkan pembicaraan akhwat-akhwat lain (ketika itu aku sedang ngobrol dengan Pupu) mereka tengah berbincang, ”Pinjam album Nasyid kamu dong, udah belum?”
Kalau aku bertanya pada mereka, Nasyid apaan sih? Mereka menjawab, “Nasyid ya Nasyid. Gimana ya jelasinnya.” Aku jadi tambah bingung.
Nah, dari Pupu lah aku mengenal Nasyid, sehingga aku yang gemar main band dengan musik Grunge ini, menjadi paham, juga sempat mendengarkan Snada atau Raihan. Kesimpulanku, ternyata agak mirip dengan acapella.
Dari Pupu jualah aku dikanalkan pada Pen-pal, yaitu surat-menyurat berkenalan dengan orang mancanegara (trend saat SMU kala itu) Pupu punya banyak sahabat pena dari luar negeri.
Ia mengajarkan aku tata cara menulis surat dalam bahasa Inggris. Kini aku punya dua teman dari luar negeri, Jasmine Boonkrong dari USA dan Truman Ping Or dari Hongkong.
Masa-masa itu berakhir pada saat penjurusan di kelas tiga. Pupu memilih IPA sesuai kegemarannya, sedangkan aku di IPS yang memang favorit bagi diriku yang lebih peka akan ilmu sosial.
Sapaan-sapaan Pupu selama dua tahun di SMU, sangat berkesan. Ia seakan menjadi sholat reminder bagiku. (yang kini dapat diinstal di windows atau di handphone)
*
Masa kuliah tiba.
Saat pengumuman UMPTN aku mengetahui bahwa Pupu masuk ke Universitas yang sama denganku. Ia menjadi mahasiswi fakultas MIPA, sedangkan aku di fakultas Hukum.
Dengan penuh rasa penasaran, selama setahun pertama, aku mencoba mencari tahu keberadaannya. Ada rasa kerinduan untuk dapat bertemu kembali. Ingin rasanya mengulang masa-masa dulu. Ia menjadi salah satu guru agamaku sekaligus, kawan yang kuhormati. Enak rasanya kalau saat ini dapat sesekali berdiskusi dengannya. Pupu seakan pemicu diriku untuk giat belajar agama.
Tapi, seluruh keinginan itu kandas rasanya. Pupu lenyap keberadaanya ditelan bumi. Susah sekali mencari kontak dengannya. Bahkan kawan lamaku di MIPA yang pernah bilang ia katanya benar ia masuk UMPTN di MIPA.
Kemudian ia laporan padaku, “ Waduh, Ndri kayanya gue juga ga pernah liat die tuh.”
Mungkinkah Pupu tidak mengambil jatah UMPTN-nya? Mungkinkah ia ada di salah satu universitas lain di jawa tengah?

Love will find the way.
Aku tidak percaya begitu saja dengan takdir tanpa berusaha. “Ada usaha pasati ada jalan,” begitu Pupu biasa menasehatiku, kalau aku sedang putus asa dengan kenyataan hidup.
Di kampus, dengan kepandaian desain grafis-ku, aku mejadi desainer poster, banyak sekali poster yang aku desain untuk berbagai acara fakultas, di kampus yang tak pernah sepi kegiatan ini.
Pada setiap poster yang aku desain, aku selalu menyelipkan pesan yang tidak kentara. Isinya,
‘Pupu if u read this, contact me >>Andri@yahoo.net.”
Pesan itu senantiasa tercetak dengan font tipis ukuran delapan dan diletakkan vertikal tidak kentara, kecuali orang yang menatap poster itu dengan teliti. Aku tahu Pupu adalah orang yang sangat teliti.
Dua tahun hal itu kulakukan, tapi tidak pernah ada respon. Aku masih menjalankan tradisi yang kudapat dari Pupu, aku senantiasa respect pada akhwat-akhwat, semua kuanggap sebagai perwujudan dari Pupu ku.
Kalau ada akhwat aku paling tidak berani merokok, dalam pikiranku Pupu pasti marah melihat hal ini. Kalau ada akhwat minta bantuan pasti akan kubantu dengan segenap tenaga ku. Aku selalu menjaga mata dan sikap tindak ku pada para akhwat.
Tapi dalam kenanganku tidak ada yang dapat menggantikan figur Pupu. Apalagi kalau sedang teringat akan sholat. Pasti akan kututup dengan doa, agar aku mengetahui keberadaannya. Hingga suatu saat...


Scenario will improvise
Ketika itu ada sebuah acara besar di Masjid kampus, ada bazaar, ada festival, konser nasyid, ceramah, seminar, dan pameran.
Kala itu aku sedang asyik memotret keramaian itu dengan kamera ku, ini hobi baruku di kala senggang. Ramai sekali pelataran depan masjid dengan orang-orang, termasuk anak-anak kecil. Itu adalah anak-anak dari para alumni yang datang atau mahasiswa yang telah menikah.
Penuh semangat aku memotret keriangan dunia anak-anak itu. Adegan selanjutnya ternyata mirip film Raihan…
Seorang anak kecil mungil menarik-narik celanaku, aku menoleh dan menyibakkan rambut gondrongku, dan membungkuk. Lalu menatapnya.
“Ya ada apa de’?” aku bertanya dengan ramah. Aneh wajah si mungil berbaju merah ini mengingtkanku pada seseorang, entah siapa.
“ini Oom. Dali umi,” katanya dengan cadel lantas berlari. Sepucuk kertas diserahkan padaku. Tagihan poster kah?
Aku tertegun. Sebuah perasaan yang entah bagaimana, sulit diungkapkan lantas menjalari seluruh tubuh. Kubuka lipatan surat itu perlahan. Isinya singkat.

Assalamualaikum,
Andri, aku membaca pesanmu.
Masih rajin sholat khan?

Pupu

Mataku lantas buru-buru mencari kemana larinya anak kecil berbaju merah itu. Di kejauhan aku melihat. Anak kecil itu tengah berjalan dengan kedua orang tuanya.
Sang ayah dapat kulihat dengan jelas dari kejauhan. Raut muka sang ibu tidak dapat kulihat karena berjalan membelakangi, kemudian pandangan mataku terhalang matahari sore.
Mungkinkah ia?
Aku ingin mengejar kearah sana, namun kuurungkan niatku.

Pupu, setidaknya aku mengetahui keadaanmu. Semoga kau bahagia.



Bila dua orang saling mencintai,
tidak akan ada akhir yang bahagia untuknya
--Ernest Hemingway--








Dedicated to Pupu, wherever you are.
Based on true story, as told by Andri to Wahyu.
Wahyuningrat. (
penyair_damai@yahoo.com)

Friday, September 16, 2005

THE WHITE SHOES

Aku tahu namanya Vony. Aku juga tahu segalanya tentang dia. Ia kuliah di FISIP jurusan komunikasi massa, semester lima. Dari segala perbincangan dengan teman-teman yang mengenal dia, pengetahuanku tentang bunga yang satu ini kian bertambah.
Kulitnya yang putih gading, tubuhnya yang proporsional, langsing, tinggi semampai, ditambah dengan matanya yang sempurna. Seakan habis rasanya ungkapan para pujangga di buku-buku sastra koleksiku, cuma untuk menggambarkan pesonanya itu.
Kini, dalam riuhnya rapat evaluasi acara seminar ini, seakan aku tidak terpengaruh oleh suasana. Semua hanya terasa bagai sayup-sayup, aku tidak dapat melepaskan pandangan mataku ini darinya. Jarak sepuluh meter yang memisahkan serasa sirna terhantam pesonanya yang melebihi kabel serat optik untuk akses internet tercepat.
Dihadapanku, ia duduk tenang sambil sesekali melayani pembicaraan disekelilingnya. Oh, kalau mengingat akan inilah hari terakhir dari rangkaian tiga hari acara seminar yang UKM kami selenggarakan, rasanya hanya penyesalan yang ada di hati ini. Yah, aku hanya sempat berbincang dua-tiga kali dengannya, itupun kurasa hanya beberapa basa-basi atau tuntutan pekerjaan, yang kurasa akan terlupakan olehnya dalam hitungan jam, walaupun bagiku merupakan saat-saat yang mengesankan.
Sebagai mahasiswa, aku tidak menyesal Mas Anto mengajakku untuk ikut kepanitiaan seminar ini. Pertemuanku dengan gadis manis yang menjadi kembang seminar ini, semakin menambah gairah kerjaku. Mungkin, Cuma masalah karunia Tuhan, hingga kami terpisahkan oleh job deskripsi yang berbeda. Aku dibagian staf perlengkapan, sedang Vony di bagian protokoler.
Di bagian perlengkapan tentu saja menyebabkan aku dan semangat mudaku ini harus rela begadang semalaman menyiapkan segala peralatan untuk acara seminar dan pameran eksebisi ini.
Menjadi bagian perlengkapan, membuat kami senantiasa berpenampilan lusuh dengan mata kurang tidur setiap hari. Sedangkan Vony dan wanita cantik lain dibagiannya, dituntut senantiasa berpenampilan rapi dan menarik setiap hari. Sekali lagi, kembang yang satu ini semakin cantik dengan rok panjang hitam yang dikenakannya. Ah, rasanya ia memang cantik dengan pakaian apa saja. Mata ini tak pernah bosan mengaguminya.
*
Suara Mas Anto, mahasiswa tingkat akhir itu, dengan dipaksakan berwibawa, akhirnya dapat juga menenangkan suara anak-anak. Lalu, seperti biasa laporan dan curhat dari tiap divisi, dilanjutkan dengan ucapan selamat dan terimakasih, kemudian maaf-maafan. Lalu Mas Anto mengumumkan acara pembubaran panitia akan dilaksanakan di salah satu restoran favorit dua hari lagi, dan memperbolehkan anak-anak bubar.
Dari obrolan singkat dengan Vony di meja penerima tamu, tadi pagi ketika jeda acara, aku tahu ia ada satu kuliah penting malam ini, dan ia berniat tidak melewatkannya dan langsung kuliah selepas ini.
Aku sudah siap di lobby depan. Setidaknya setelah menderita penat tiga hari ini, minimal aku mencoba peruntunganku mengenalnya lebih jauh lagi. Aku tak menggubris ajakan Karen, gadis Psikologi yang cukup cantik juga, tapi manjanya itu gak ketulungan. Anggun, mungkin itulah satu kata yang pantas untuk menyatakan keunggulan pesona yang dimiliki Vony.
Karen meninggalkanku dan mengajak pulang bareng cowok lain. Aku sedang tidak berminat dengan gadis itu, biar dia temanku dari SMU, kalau dekat dia kesalku memuncak. Bagaimana tidak, coklat Toblerone yang kupersiapkan untuk Vony, ketika baru ancang-ancang, eh itu cewek satu langsung menyambar dan langsung menawarkan yang lain, mana Vony nggak kebagian lagi.
Itu Vony keluar. Kumatikan rokokku, lalu bergegas menghampirinya. Kini ia tampil lebih menarik, dengan cardigan dan korduroi ketat, bagai perwujudan Penelope Cruz dalam Woman on Top dan Cameron Diaz dalam Charlie’s Angels. Belum sampai lima langkah bencana itu datang…
“Ryan, kamu nggak ada kuliah kan? Bantu kita angkat barang-barang ke sekretariat dong.” Ucapan yang disertai tepukan di bahu itu melemaskan kembali seluruh otot dibadan ini. Tak kuasa untuk menolak Mas Anto yang begitu berjasa bantuannya selama ini. Aku lantas banting setir ke kiri, berjalan mengikuti Mas Anto.
Aku masih meliriknya, hati ini tidak rela impian didepan mata pupus begitu saja. Luther King saja bilang ‘manusia harus punya impian dan mengejar impiannya’. Vony celingukan di lobby aula. Adegan seterusnya ingin rasanya dihentikan, kalau saja aku sutradara yang mengatur takdir ini.
Dari arah samping kulihat Vony menengok, rupanya yang memanggil Marco, anak sastra indo-itali itu. Sambil mengangkat sound system kulihat mereka berbincang disertai gurauan dan tawa. Sebelum hilang dari pandangan, dari sela-sela sibakan rambutku kulihat mereka berdua memasuki Audi metalik milik Marco.
*
“Mas Ryan, Mas Ryan, ada telepon!”
Suara si kecil Romin yang lantang sembari menggedor pintu, menyadarkan aku dari alam mimpi.
“OK, iya Rom, ntar Gue terima!”
Ukh, siapa sih yang menelpon pagi-pagi begini? Aku baru pulang larut malam, setelah selesai beres-beres semalam. Niatnya sih hari ini mau bangun siang, mumpung tidak ada kuliah yang penting.
“Ayoh cepetan diterima, dari cewek loh”, kata anak ibu kost itu dengan senyum bandel. Ia kemudian lari kedepan, meneruskan pekerjaanya.
Heran, jarang ada cewek telepon kesini cari aku. Siapa kiranya gerangan? Masih dengan kantuk yang amat sangat, dengan terhuyung-huyung aku beranjak jalan ke arah tempat telepon. Kulontarkan sebuah senyum terpaksa pada ibu kost yang berada di dekat meja makan tidak jauh dari situ. Sembari mengucek mataku yang belum sepenuhnya terbuka, kusambar gagang teelepon itu.
“Yap, halo.”
“Ryan? Sori ngebangunin pagi-pagi, ini Vony.”
Sekejap itu pula seluruh rasa kantuk luluh, berganti segar bugar ala iklan Kratingdaeng. Lantas dengan suara ditingkahi dehem-dehem tidak jelas, kebiasaanku yang timbul kalau hendak menimbulkan kesan impresif di telepon, aku menjawab sapaan awal bidadariku itu.
“Oh, iya Vony. Ada apa ya? Gimana semalem sampai rumah jam berapa? Ada yang nganter?” Aku lantas nyerocos bertanya.
“Eng iya. Tadi malam biasa sampai rumah jam setengah sepuluh, khan Vony kuliah dulu.” Aduh suaranya betul-betul merdu sekali, kalah deh semua premium call yang sering dicoba anak jomblo kost-kost-an sini.
“Nggak dianter Marco semalem?” Aku masih ingin menyelidiki.
“Nggak tuh. Vony khan Cuma numpang sampai kampus aja, biar nggak ketinggalan kelas tambahan aja,” Ih lega deh hati ini.
“Ehm, anu Ryan. Vony mau minta tolong nih. Boleh?” apapun akan kulakukan. Seperti kata Chrisye, walau keujung dunia pasti akan kudaki.
“Oh boleh apaan tuh Von, ntar Gue bantuin deh.”
“Gini, khan tadi malam Vony balik keburu-buru. Ada yang ketinggalan. Ryan kan Perlengkapan, pasti pulang terakhir, tadi malam lihat ada barang Vony yang ketinggalan nggak?”
“Tadi malam yang tugas sweeping terakhir sih emang Gue ama anak-anak, tapi paling nemu jaket kuning ama kaos oblong, itu juga udah dibalikin. Memang apa sih yang ketinggalan?”
“Itu lho Ryan, sepatu Gue. Gue kan ganti sepatu dengan yang kets buat kuliah biar santai. Eh yang itu ketinggalan.” Sepatu? Wow.
“Sepatunya kayak gimana, Von?,” pertanyaan ini dibarengi khayalanku yang melambung.
“Sepatunya hak tinggi, warnanya putih. Kemarin Vony pakai buat protokoler, terus kayaknya ketinggalan di bawah bangku deh.”
Kata-kata terakhir ini membawaku langsung ke alam masa kecilku. Aku teringat akan kehebatan dongeng klasik yang sering diceritakan Ibu menjelang tidur. Bukankah ada seorang Putri yang kehilangan sepatu kacanya? Dan bukankah seorang Pangeranlah yang menemukannya?
“Yah, gimana dong Ryan? Kayanya hilang yah? Tadi malam gak ada? Aduh gimana ya?” tak sengaja gagang telepon di kupingku kudiamkan beberapa saat.
Saatnya untuk kalimat sakti diucapkan, “Von, nanti Gue cariin deh. Abis kuliah siang ini, Gue kesana.”
“Benar? Nggak ngerepotin kan?”
“Iya, tapi situasi ini kan seperti di dongeng Cinderella, iya kan? Nah kayanya kamu perlu bikin semacam reward. Kaya gini misalnya, barang siapa yang mengembalikannya akan diangkat jadi apa gitu…”, tiba-tiba ide gilaku kumat, semuanya terlontar spontan.
God work in mysterious way. Anehnya Vony menanggapi kalimat usil tadi, “Aduh gimana ya? Beres deh nanti Vony bikin statement gitu deh di rumah.”
“Aduh, beneran nih? jadi semangat nih,” intonasi suara kutahan sedatar mungkin, tapi rasanya lonjakan hati sudah meletup tak terkira.
“Udah dulu ya Ryan. Kalau ada kabar, langsung telepon aja. Makasih sebelumnya, bye.”
Telepon kututup. Suara merdu tadi masih terngiang-ngiang. Kepalaku sibuk mereka-reka semua perkataan barusan. Rasanya banyak sekali film romantis Hollywood yang sudah kutonton, dari semua itu telah tersusun puluhan skenario mendapatkan gadis pujaan dalam benakku.
Semula aku mengharapkan kisah cintaku akan disejajarkan dengan Meg Ryan dalam ‘You’ve Got mail’, Mel Gibson dalam ‘What Woman Want’, ataupun “Someone like You’ dan ‘Wedding Planner’.
Aku tidak mengira semua skenario Hollywood itu tewas dihadapanku. Kini kisah cintaku akan disetarakan dengan kisah cinta yang tergolong ‘the greatest love story ever made’, seperti Samson & Delilah, dan Romeo & Juliet.
Putri Sepatu Kaca. Ya, Cinderella gubahan Walt Disney itu. Alam bawah sadarku terbawa menuju indahnya kehidupan masa kecil. Zaman rental video Betamax masih menjamur. Cukup dengan patungan uang jajan bersama teman-teman, kami gemar menonton film kartun.
Aku mencoba mengingat-ingat jalan ceritanya, hmmm…sang putri harus keburu pulang karena batas waktu tengah malam kalau tidak ia jadi Upik Abu lagi (sesaat disini aku tercenung, Vony terburu-buru karena kuliah tambahan, kalau lewat, ya nggak berubah).
Lalu, sang pangeran datang menghantarkan sepatunya yang tertinggal. Dan diboyongnya sang Upik Abu ke istananya (aku tambah bingung, aku bukan pangeran malah dialah sang putri. Dan dialah yang meminta dicarikan sepatunya).
Aku lantas sadar. Laksana pikiran seorang peneliti folk tales, ala Prof. Danandjaya yang terkenal itu, aku membongkar ingatanku akan sebuah dongeng lagi yang punya korelasi.
Akhirnya aku teringat. Ada kombinasi dongeng jawa disana. Ya, benakku terantuk pada dongeng ‘Joko Tingkir’. Ya disana diceritakan adanya unsur ‘woro-woro’ pengumuman ‘barang siapa…maka akan dapat…’ dan di dongeng itu sang Joko Tingkir mengalahkan Kerbau Gila sebagai syarat mendapatkan sang putri.
Setelah menyimpulkan hipotesa akhir itu, aku dapat mandi dengan tenang untuk memikirkan langkah selanjutnya, dalam proyek masa depan yang kunamakan “operation target: the white shoes” dibawah guyuran air yang dingin.
*

Seraya menikmati sarapan yang disediakan ibu Kost, kuletakkan Koran pagi disampingku. Mataku rasanya terantuk dengan buku sejarah SD milik si Romin, anak ibu kost.
Disana disebutkan mengenai Joko Tingkir, yang baru tadi ada dibenakku. Aku jadi ingat pelajaran sejarah SD. Joko Tingkir is real. Ia adalah julukan dari Raden Mas Karebet, yang nantinya bergelar Sultan Hadiwijaya ketika memerintah.
Hmmm, rasanya juga ada penelitian yang kubaca di internet, kalau Cinderella juga bukanlah fiksi, tapi pernah terjadi. Toh, Walt Disney Cuma mengadopsinya menjadi film kartun, penulis aslinya sudah cukup lama membuatnya, entah siapa lupa…
Mungkinkah ini pertanda angan-anganku akan menjadi kenyataan? Yang jelas aku jadi bersemangat menghabiskan sarapanku.
*
Aku cabut kuliah siang. Setelah susah konsentrasi saat kuliah pagi (tadinya tidak mau datang, namun teringat tugas yan harus dikumpulkan kalau mau lulus). Anganku dipenuhi adegan romantis saat aku menyerahkan sepatu itu pada si Vony sayang.
Oho, a simple task with a honorable price. Dengan mempertimbangkan unsur kalau kesiangan maka akan keburu dipindahkan oleh satpam, dan kondisi tubuhku yang kalau terlalu lama memendam maka akan terbang, maka aku bergegas pergi ke lokasi Seminar.
Duh, Bus Kuning tidak ada yang lewat. Kuputuskan untuk berjalan saja. Walau perjalanan cukup jauh bila ditempuh kaki ini, namun peluh kurasa setimpal sekali dengan reward yang akan kudapat. Vony, wajahmu seolah muncul dalam wide screen dimataku.
Sebuah mobil sedan lewat berpapasan dengan aku, yang sudah hampir sampai dilokasi seminar. Itu Audi metalik dengan Marco didalamnya. Dia mengklakson dan menyapa dengan mengangkat sebelah tangan. Aku tersenyum dan membalas dengan lambaian tangan. Lalu aku meneruskan langkahku. Sorry man, I’ve got her first.
*
Tangga terakhir Auditorium ruang seminar, akhirnya sampai di langkah kakiku. Seorang satpam gemuk berkumis tebal, yang kutahu bernama Sapto, menghampiriku laksana panitia penyambut.
“Dik Ryan, ada apa? Mau booking tempat ini buat seminar lagi ya?”, setiap kali satpam Sapto berkata kumis tebalnya senantiasa bergerak-gerak.
“Ah Pak Sapto, nggak pak ini ada barang yang ketinggalan di kamar ganti, saya mau ngambil.” Aku lantas melangkah masuk, namun si Sapto menghalangiku.
“Lho dik, Saya baru periksa kamar ganti. Semuanya sampai bawah-bawahnya. Kayanya sudah tidak ada barang lagi deh.”
“Ya sudah biar saya yang mencari lagi soalnya barang itu penting Pak.” Mungkin Sapto menghalangiku karena takut mengotori ruangan yang sudah dibersihkan. Aku tetap bersikeras. Masa depan, coy.
“Memangnya barang apa sih, dik?” Sapto bertanya. Duh ini Satpam mau tahu aja.
“Sepatu pak, sepatu cewek punya teman saya. Warnanya putih.”
“Oh sepatu cewek. Tadi bukannya sudah diambilin sama temannya.” Ucapan Sapto yang terakhir ini membuat jantungku bergetar.
“Kenapa pak? Bagaimana pak? Siapa yang ngambil?”, aku agak panik sedikit.
“Aduh dik. Yang tugas waktu ada yang ngambil tadi pak Usman. Dia udah pulang. Cuma dia bilang tadi ada mahasiswa yang ngambil barang yang ketinggalan tadi malam, terus sama dia dipersilakan masuk. Dan keluar bawa bungkusan plastik yang kelihatannya isinya sepatu cewek.” Tutur pak Sapto.
“Orangnya pakai mobil?”, aku bertanya dengan nada pasrah.
“Wah, tidak tahu saya dik.”
“Ya sudah pak, makasih ya. Saya pergi dulu.” Aku meninggalkan Sapto dengan langkah lunglai. Kurasa Sapto pasti bengong melihat perubahan semangat empat lima tadi menjadi lesu lemah ala iklan obat.
Aku bertanya pada diriku. Marco kah yang lebih dulu mengambil sepatu itu? Apakah Tuhan akan membiarkan the bad guy menang? Kenapa cerita ini tidak berakhir dengan happy ending ala film Hollywood?
*
Langkah kaki yang kubiarkan berjalan dengan mode automatic pilot membawaku ke sekretariat UKM kami. Tempat itu memang tidak jauh jika ditempuh berjalan kaki dari tempat seminar.
Aku langsung menghempaskan badanku di bangku kantin. Mungkin segelas jus segar dapat membantu kegalauanku. Sebatang rokok langsung kusulut dibibirku.
Kulihat dari kejauhan Marco memarkir mobilnya. Here come the lucky winner. Aku memandang sinis dari kejauhan.
Ia berlalu dihadapanku. Menegur ramah, yang olehku diartikan basa-basi busuk. Memang orang yang kalah tidak pernah lapang dadanya. Kini aku merasakan apa yang diderita para tokoh antagonis film Hollywood. Darth Vader, Lex Luthor pasti merasakannya. But, Hei I’m not the bad guy!
Setelah memesan minuman yang sama denganku (memang itu menjadi favorit), Marco angkat bicara,
“Bagaimana semalam Ryan. Pulang jam berapa?”
“Jam sebelas sampai kost. Lo sendiri bagaimana? Asyik dong sama Vony.” Aku mencoba bernada biasa, namun susah menutupinya dalam bertutur kata.
“Ah, apa asyiknya. Gue sama dia kan udah temenan dari SD. Sekolah dasar sampai kuliah bareng melulu. Sudah kaya’ saudara.”
Mendengar ucapannya yang terakhir aku tercenung. Apa gerangan maksudnya?
Keheningan pecah oleh bunyi dering handphone Marco yang melantunkan ‘10 out of 10’-nya Louchie Lou. Marco mengangkatnya.
“Halo…Oh ya…Oh kebeneran. Ini anaknya ada di depan Gue, ngomong langsung aja deh.”
Marco lantas menyongsongkan Siemens M35-nya ke tanganku. Aku kebingungan. Ucapan berikutnya dari Marco membuatku lebih nervous.
“Dari Vony. Lo dicariin tuh.“ katanya dengan senyum nyengir. Kuterima handphone-nya. Marco lantas asyik kembali dengan jus-nya.
“Ha..Halo? ini Ryan.”
“Halo Ryan, ini Vony,” suara merdu di ujung sana tidak berubah. Menghanyutkan seperti tadi pagi. Seraya memberi secercah harapan.
“Ya Vony.”
“Aduh gini Ryan. Sepatunya sudah ketemu.”
Lututku lemas mendengar ucapan tersebut,”Oh, sudah ketemu.”
“Iya, Ryan coba tebak siapa yang mengantarkan sepatu itu kemari.” Suaranya tambah riang. Aku jadi tambah bingung, yang jelas bukan Marco soalnya dia tidak cerita.
“Si..siapa yah?”
“Kak Anto. Katanya tadi pagi ia balik ke ruang seminar untuk mengecek. Eh ketemu sepatu Gue di sana.”
Aku tidak dapat berkata-kata mendengar nama Mas Anto diucapkan vony dengan nada riang.
“Trus, dia anterin deh ke sini, setelah nanya sama Karen ini sepatu siapa.”
“Eh Ryan. Waktu dia datang itu pas banget gue bikin statement seperti yang elo saranin.”
“I..iya?” lidahku terasa kelu.
“Tahu nggak. Gue udah lama suka sama Kak Anto. Gue make a wish begini, ‘kalo ada yang ngembaliin sepatu putih Gue. Kalo cewek Gue angkat saudara, kalo cowok Gue angkat jadi pacar kalo dia mau’. Pas seperti di film. Eh gak tahunya berhasil, dan kok jadi seperti film sih.”
Aku masih diam seperti orang bodoh. Mencoba mereka-reka, adakah film Hollywood yang dibuat dengan skenario seperti ini?
“Eh sudah dulu ya Ryan. Kak Anto masih di teras. Kalo gak ada kamu, mungkin semua ini tidak akan terwujud. Makasih banyak yah. Thanks. Bye.”
“Bye,” kututup telepon itu dan kukembalikan pada Marco dengan mata menunduk. Untungnya Marco tidak menyadari, ia menerima dengan acuh tak acuh. Ia masih asyik dengan majalah di depannya.
Pertanyaannya adalah; kenapa Mas Anto? Mungkinkah ending ini akan membuatku tidak terlalu meratapinya, karena Mas Anto terlihat lebih sempurna dihadapanku? Tidak, aku tetap meratapi (walau tidak mengutuk Mas Anto, karena ia adalah tutorku).
Mataku menerawang. Untuk kemudian terantuk pada secarik kertas di pojok kantin. Sebuah coretan mahasiswa yang sering begadang dan menganggap diri mereka seniman besar setara Gibran.
Isi tulisan pada kertas itu:
Ternyata…
Ada tangan cekatan yang lebih dulu memetik,
Ketika kusadari betapa indahnya dirimu…

Sebuah syair patah hati yang picisan. Dikala kondisiku normal mungkin akan kuacuhkan, atau kuremehkan. Namun, dalam kondisi pencarian makna ending ini, kok rasanya klop sekali.
Kedua bola mataku mencoba melarikan diri dari tulisan itu. Mereka berhenti di sebuah poster di tembok. Tulisan poster itu hasil tulisan Jaka, seorang copywriter garing. Penuh kata-kata yang garing. Ia selalu kucela, karena tidak berbakat tapi selalu ngotot.
Namun entah kenapa, kini aku memperhatikannya dengan penuh makna. Judul poster itu:
Anda ketinggalan kereta?
Masih ada becak yang bakal mangkal.

Keningku mengernyit. Mungkinkah ada becak yang akan menemani perjalananku, menggantikan Ekspress Argo Bromo yang tiketnya sudah dibeli orang?
Terdengar olehku suara manja cewek yang tidak asing lagi, disertai sebuah tepukan di bahuku.
“Ryan, kamu kan nggak sibuk sore ini? Temenin Gue ke blok M yach?”
Aku mendongak ke arah suara tersebut. Ah, Karen. Mungkinkah kamu sang becak itu?

LORO JONGGRANG 2020

Alkisah, di masa yang akan datang dan di tempat yang jauh, tersebutlah seorang putri konglomerat bernama Loro Jonggrang. Ayahnya bernama Raden Baka, salah seorang terkaya di dunia. Kekayaannya terhampar dari benua Eropa hingga dataran Afrika.
Loro Jonggrang amatlah elok rupawan, kulitnya putih gading, lekuk tubuhnya menggiurkan, kecantikan wajahnya mempesona, tutur katanya halus terdidik, ia pun lulusan Harvard Business School dengan predikat cum laude. Entah sudah tak terhitung pemuda-pemuda rupawan lagi pandai dan kaya, yang datang melamar namun ditolaknya. Loro Jonggrang lebih memilih menghabiskan waktunya untuk membantu kerajaan bisnis ayahnya, dan mengesampingkan kehidupan asmara. Menaklukkan hati wanita berpendirian keras itu adalah impian semua pemuda di muka bumi ini.
Raden Baka, yang sudah lama menduda sejak Loro Jonggrang masih belia, membesarkan anaknya sebagai single parent dengan penuh perhatian. Sejalan dengan membesarnya bisnis Raden Baka, Loro Jonggrang tumbuh matang di tengah hiruk-pikuk dunia bisnis. Duet ayah-anak ini sangat diperhitungkan dalam percaturan bisnis.
Sewaktu berusia 10 tahun, Loro jonggrang pernah diperlihatkan foto dua buah gedung kembar yang amat tinggi sekali oleh ayahnya. Ayahnya berkata dengan serius, “Lihat ini Jonggrang, gedung ini bernama World Trade Center, awal dari perniagaan modern, di sana jua lah awal bisnis ayahmu ini bermula. Sayang sekali gedung bersejarah ini telah runtuh, konon akibat konflik antar bangsa.” Loro Jonggrang sangat kagum dengan gedung itu, dan menyerap dalam-dalam ucapan ayahnya itu.
*
Roda kehidupan senantiasa berputar, yang di atas dapat saja menjadi berada di bawah. Malapetaka itu pun akhirnya datang. Pertempuran dalam dunia bisnis yang mempunyai adagium ‘tiada kawan abadi’, konon lebih kejam dari perang dunia manapun.
Raden Baka yang sudah tidak muda lagi, akhirnya kalah total. Seluruh aset bisnisnya ludes, berpindah tangan ke sang pemenang. Dengan serangkaian praktek kotor, saham-saham Raden Baka dikuasai melalui insider trading, satu demi satu unit bisnis beralih dengan serangan hostile takeover, perusakan-perusakan dan boikot menghancurkan supply chain management pabrik-pabriknya. Serangan beruntun yang sangat menohok itu, ditambah dengan membelotnya beberapa manager kepercayaannya ke pihak lawan.
Dengan hutang melilit, Raden Baka tidak punya pilihan selain menyerahkan semua miliknya. Akibat shock berkepanjangan, di atas kasur rumah sakit kelas tiga, Raden Baka menghembuskan napas terakhir. Loro Jonggrang menatap penguburan ayahnya, dengan berlinang air mata, dan raut wajah penuh dendam.
*
Sang pemenang adalah Bandung Bondowoso, seorang milyarder muda ambisius yang kejam. Di bawah bendera ‘Bondowoso Global Investment’, ia memperlebar imperium bisnisnya dengan ekspansi-ekspansi yang menghalalkan segala cara. Model bisnisnya lebih mirip dengan manajemen Mafia Itali.
Tidak pernah ada yang tidak dapat dimilikinya. Semua dengan gampang ia dapatkan, harta, tahta, wanita, jika ia mau, pasti ia dapatkan dengan mudah. Sampai suatu hari ia melihat cover depan majalah TIME terbaru, ia termangu. Lalu membolak-balik lembaran majalah itu penuh perhatian.
Dalam majalah TIME dengan headline ‘Loro Jonggrang: most wanted female of the world’ itu, dipaparkan berita mengenai Loro Jonggrang yang kecantikannya tiada tandingannya di seluruh dunia, dan belum ada seorang pria pun yang sanggup menaklukkan hatinya. Melihat foto-foto Jonggrang di majalah itu, timbullah rasa jatuh cinta dalam diri Bandung Bondowoso. Ia bertekad ingin mendapatkan wanita itu dengan segala cara.
*
Bandung Bondowoso membatalkan seluruh janji bisnisnya, dan pergi bertandang ke hadapan sang Loro Jonggrang. Loro Jonggrang kini hanyalah pengelola sebuah restoran kecil di pusat kota. Bondowoso tanpa basa-basi langsung mengutarakan maksud hatinya.
“Ketahuilah Jonggrang, aku adalah orang terkaya di dunia saat ini. Kau adalah wanita yang tepat untuk bersanding denganku, Kau akan hidup bahagia bersamaku.”
Jonggrang menatap tajam padanya, “Aku tidak tertarik denganmu, apa yang bisa kau berikan padaku?,” bibir Jonggrang yang indah itu mencibir.
“Segala yang kau inginkan, akan kuberikan sayangku,” bersamaan dengan perkataan itu, seorang ajudan Bondowoso menyerahkan satu keranjang penuh perhiasan berlian mutu terbaik.
“Cuma itu? Itu saja tidak cukup, kalau aku mau yang seperti itu, aku bisa dapatkan sejak dulu,” ujar Jonggrang dengan nada angkuh. Ia menyibakkan tangannya menepis pemberian itu.
“Sebutkan apa yang kau mau untuk membeli hatimu. Apa saja akan kupenuhi,” alis mata Bondowoso mulai naik, tanda habis kesabaran.
“Aku hanya mau menikahimu, jika…”sejenak Jonggrang menghentikan perkataannya dan memandang lekat-lekat pada Bondowoso, “…Kau buatkan untukku dua buah gedung, yang serupa dengan gedung World Trade Center.”
“Ha, cuma itu? Akan kubuatkan sepuluh buah untukmu manis, kalau cuma itu saja,” Bondowoso berkata seraya tertawa.
“Tidak, aku cuma mau gedung kembar itu…” ia menghentikan ucapannya menunggu sampai Bondowoso puas tertawa, lalu melanjutkan, “…dan gedung itu harus selesai dalam waktu satu bulan, terhitung sejak peletakan batu pertama,” ia menyudahinya dengan sebuah senyum mengejek.
Bondowoso terbelalak mendengarnya, di belakangnya para ajudan berbisik-bisik satu sama lain, mengungkapkan kemustahilan titah itu. Dengan muka merah padam Bondowoso berdiri, bangkit dari kursinya dan menuding wajah Jonggrang.
“Baik, akan kupenuhi permintaanmu, bersiaplah. You will be mine, my lady!” teriak Bondowoso dengan nada suara murka, wajahnya merah padam. Ia lalu berbalik pergi keluar diikuti para ajudannya.
*
Siang itu sebuah tim proyek dibentuk, langsung di bawah komando Bandung Bondowoso. Tujuh perusahaan kontraktor kelas atas disewa, semua pemasok bahan dari penjuru dunia dikontak, sepasukan pengacara terkenal dipanggil untuk mengurus perizinan kilat, para pejabat kota dan anggota parlemen dilobi untuk melicinkan urusan, puluhan arsitek dan insinyur terkemuka dibayar mahal untuk bekerja siang malam, dan tidak kurang dari 50.000 buruh bangunan dikerahkan untuk proyek ini. Dua hari kemudian dimulai peletakan batu pertama.
Masih tidak puas dengan itu semua, Bondowoso menyewa dukun legendaris Ki Gendeng Pamungkas, beserta sebelas paranormal dari tujuh penjuru dunia. Semua ahli klenik itu diminta untuk mengerahkan tenaga jin untuk membantu pembangunan gedung di balik layar. Konon 20.000 jin dikerahkan, kebanyakan dari jenis jin Baghdad yang punya kemampuan paling sakti.
Dalam tempo limabelas hari, gedung pertama selesai dibangun.
Pada hari keduapuluh, tinggal tersisa lima puluh lantai lagi yang belum jadi.
Pada hari ke-23, Loro Jonggrang menerima kartu dari Bondowoso, berisi, “Sayang, seminggu lagi kita akan berbulan madu di puncak gedung idamanmu.“ Jonggrang meremas kartu itu kuat-kuat, sejak itu ia tidak pernah tidur. Setiap malam, ia menatap pembangunan gedung itu dari kejauhan dengan hati cemas. Aku tak pernah sudi menjadi milikmu, demikian jeritan hatinya.
Pagi hari di hari ke-29, Bandung Bondowoso menatap puncak gedung World Trade Center yang tinggal satu lantai teratas itu. Tiga perempat hartanya dikucurkan untuk pembangunan gedung itu, ditambah hutang dengan berbagai bank. Tapi ia yakin harga sewa gedung itu akan menutupi semua ongkos pembuatannya.
Ah Jonggrang, engkau akan segera berada dalam pelukanku, katanya dalam hati. Kemudian ia memejamkan matanya, membayangkan sang Loro Jongrang. Mabuk cinta memang membuat seorang pria melakukan apa saja.
*
Sore hari di hari ke-29 itu, entah dari mana datangnya, dua buah pesawat Boeing 767 dari maskapai American Airlines mendadak menabrak kedua gedung yang tinggal satu persen lagi itu. Ledakannya begitu dasyat, menyebabkan seluruh gedung luluh lantah menjadi debu. Untungnya tidak ada korban jiwa, karena gedung itu belum berpenghuni. Sore itu yang bekerja hanyalah para jin. Laporan media massa menyatakan bahwa kecelakaan itu disebabkan oleh kerusakan komputer navigasi pesawat.
Malam itu, Bandung Bondowoso berubah menjadi kalap, ia mengamuk, dan memaki-maki tiada hentinya. Ia lantas dibawa ke rumah sakit jiwa. Tak lama, ia dinyatakan sakit jiwa, tidak waras akibat shock berlebihan. Sebulan kemudian imperium bisnisnya dinyatakan pailit.
Pagi-pagi buta di hari ke-30, Loro Jonggrang berdiri di atas reruntuhan gedung yang hampir merenggut tubuhnya. Matanya menerawang, mengingat apa yang dilakukannya beberapa hari yang lalu…
Pada hari ke-25, ketika sedang iseng surfing internet, Loro Jonggrang mendapat ide cerdik di tengah keputusasaannya. Ia menjual restoran miliknya dan menghabiskan seluruh tabungannya, untuk membayar mahal seorang hacker terkenal asal Finlandia. Hacker itu dibayar untuk membobol sistem navigasi maskapai penerbangan American Airlines. Dalam tempo tiga hari, sistem keamanan jaringan dengan enkripsi 512 bit itu bobol. Sang hacker dengan mudah dapat mengacaukan sistem navigasi pesawat manapun.
Kemudian ia tersenyum manis sekali, persis ketika ia pertama kali diperlihatkan foto World Trade Center oleh ayahnya. Perkataan ayahnya saat itu seperti bergema di telinganya.
runtuh, konon akibat konflik…
--000--



catatan penulis
insider trading: transaksi dengan informasi orang dalam
hostile takeover: pengambilalihan kepemilikan saham dengan kasar
supply chain management: manajemen rantai pemasok
surfing: menjelajah
hacker: programmer pembobol jaringan sistem keamanan komputer