Thursday, October 26, 2006

maen basket

kriekenpitplein 128, utrecht, 26 oktober 2006.
Heheheh, akhirnya setelah hari kemenangan, muncul ide untuk berbasket ria. Singkat cerita saya dan beberapa teman berkumpul untuk bermain basket. Radja sang pemilik bola, Mia miss febo 2006, Malik (and d’essential), mas Indra, Pilar, dan saya sendiri. Sebuah kombinasi ajaib dalam bermain basket. Dinginnya udara utrecht bukan halangan. Orang-orang bule mungkin agak kaget dengan orang-orang yang mereka kira dari Eskimo ini, maen basket di suhu yang menjelang beku begini, Outdoor pula. Emang modal nekat dan kekangenan yang mendalam dalam berolahraga, mengalahkan semua logika.

Dimulai dengan gambreng yang sempat menyolot perbedaan karena sempat ditentukan bukan dengan telapak tangan, tapi perbedaan takdir tuhan akan warna kulit. Tim pertama terdiri dari, saya, mas indra, dan malik. Kami melawan tim berisi radja, mia, dan pilar. Tiada satupun yang pemain regular. Semua modal semangat dan mengingat ajaran cara bermain olahraga ini saat pelajaran pendidikan jasmani kala SMP dulu. Napas Dji Sam Soe dan sisa-sisa timbunan kolesterol menghiasi pertandingan ini ala ketoprak humor ini. setelah pertandingan skor 10-6, dan 10- 2, tim saya mengalahkan tim radja secara mutlak hehehehehe.

Rencananya ini akan diadakan seminggu sekali, bergantian dengan olahraga lainnya, tennis (malik punya 4 raket), pingpong (radja punya bet ama bola), fitness (saya punya belt dan sarung tangan), bola sepak (orang PhD Syria depan kamar Radja ngajakin), kita manfaatkan sarana olahraga di kriekenpitplein ini secara maksimal. Oh ya terbuka juga untuk bowling dan bilyar, demikian petikan obrolan di sela-sela nafas ngos-ngosan.

Acara dilanjutkan dengan makan-makan sangat sederhana di kamar Radja. Karena kurang persiapan saya cuma keinget beli isotonic drink, next week saya akan siapkan ubi goreng dan singkong goreng di pinggir lapangan. Memang setelah berolahraga paling enak makan tanpa ada secuil pun rasa bersalah.

Latihan di musim gugur, katanya seh buat pas pertandingan antar kota nantinya, tapi itu di summer nanti, heheh palingan abis winter lupa, and udah sibuk dengan thesis. Tapi yah kesehatan itu mahal harganya, dan berlatih untuk kebugaran adalah perlu sebagai perilaku hidup sehat. Itu kata Bang Ade Rai.

Mari ramaikan pertandingan eksibisi berikutnya, ditunggu kehadiran aa’ kiki buat bola cadangan kalo bola utama kempes, ibu dokter Ika, karena dipastikan ketika pertandingan memanas akan ada yang semaput di lapangan, butuh pertolongan pertama untuk dipotret sebelum ditulung. Spesial untuk Detty, jangan lewatkan momen-momen indah yang sungguh paling layak untuk dicela.

What? Basketball, Shot for fun! (and tentatively open for other type of sport)
When? Every Wednesday, 06.00 PM
Where? Kriekenpitplein, UCU building
Why? There are 1001 reasons from health perspective to unhealthy perspective.
wh..? don’t ask just come. And tell everyone else to come.

Saturday, October 21, 2006

Sebuah cerita pendek setelah berbuka puasa







utrecht, 19 september 2006
Tiada terasa sudah 2 bulan lamanya saya berada di negeri, yang sungguh diluar dugaan saya bisa, menetap disini. Sebuah utopia. Tiap hari masih saja bangun dan terbengong-bengong kalau saya ada disini, negeri yang diimpi-impikan sejak di bangku SMA.

Masih saja termangu kalau saya ada diantara bule-bule itu, bersepeda bersama mereka, dilayani oleh kasir bule di supermarket. Makan makanan yang sangat mahal harganya kalau di Jakarta (dan kebalikannya). Belajar lagi, sekolah hukum di universitas dengan fakultas hukum nomor satu di Belanda, nomor 6 di Eropa, dan nomor 40 di dunia. Menerima pendidikan dari profesor-profesor terbaik di bidangnya. Penyajian materi yang sangat menarik yang saya kira Cuma ada di film-film saja, dengan pelbagai penghuni belahan dunia di kiri kanan saya, Enrique asisten senator dari Columbia, Malala aktivis NGO dari Rwanda, Barbara pegawai DOJ united states, Anne Prosecutor dari Kanada, Mollah dosen dari Ethopia, Sofka dari Serbia, dll. Mengakses library hukum super lengkap yang interior nya seperti di dalam kapal startrek dengan bangku super nyaman dan monitor flat screen yang tersambung ke semua database hukum penjuru dunia yang bayarannya super mahal, semuanya gratis.

Hidup bagai esmud kalau di Jakarta. Apartemen super mewah, bagai tinggal di apartemen rasuna, lengkap dengan microwave, dan coffie maker, tv cable 29 inch, akses internet tercepat selama hidup saya, download film ratusan megabyte hanya dalam hitungan detik. Tiap hari mengunyah potato chips dan minum jus segar murni, saya baru sadar makanya orang bule suka nimpuk pake chips, wong murah.

Dan yang hebatnya, semuanya tanpa keluar uang, not every cent. Semua full beasiwa. Hmmm dan tak lama lagi saya akan melihat salju pertama kali dalam hidup saya. Anugrah terindah yang telah lama diimpikan oleh seorang pegawai rendahan di salah satu stasiun televisi lokal ini.

Kemarin kelas kami dibagi menjadi beberapa kelompok, saya satu kelompok dengan 6 gadis belanda, ini tugas kelompok pertama saya, hmmm ada sedikit ketakutan kalau susah nantinya. Kabarnya orang belanda agak reluctant dalam berteman, memang mereka sangat ramah, dan tiada pernah saya temui di belahan belanda ini yang tidak bisa bahasa inggris. Namun setelah itu menarik diri, apartheid berasal dari kata belanda, mereka punya prinsip, kalian boleh berbaur dengan kami, namun kalian tidak bisa menjadi bagian dari kami.

Lalu apa yang terjadi dengan kelompok saya? Semua berjalan lancar dan menarik, dalam berdiskusi di basement kampus keenamnya (tujuh dengan saya) sangat helpfull dan kompak, tugas kami adalah; dalam debate di kelas, kami menjadi tim yang membela sistem hukum Amerika, mereka semua hebat, saya menjadi orang yang membuat opening statement, dan dengan peluru hasil “diving” saya di library, kami punya banyak bahan untuk meredam kelompok lain. Oh ya mereka semua cantik-cantik lho.

Saturday, October 07, 2006

nama saya di web FHUI, almamater saya

BERITA FHUI
22/09/2006

http://www.law.ui.ac.id/berita.php?bid=85

Alumni FHUI Menerima Beasiswa StuNed Untuk Melanjutkan Studi Pasca Sarjana di Negeri Belanda


Sebanyak 7 (tujuh) orang alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menerima beasiswa Studeren in Nederland (StuNed) dari Pemerintah Kerajaan Belanda untuk melanjutkan studi pascasarjana di Negeri Belanda. Mereka yang menerima beasiswa tersebut antara lain adalah Andy Aron angkatan 1998 ke Rijksuniversiteit Groningen (RuG), Datu Putra Persada angkatan 1997 (RuG), Hesti Setyowati angkatan 1999 ke Rijksuniversiteit Leiden, Immanuel A. Indrawan angkatan 1999 (RuG), Reni Pasaribu angkatan 1998 ke Universiteit Utrecht, Tommy Kusuma angkatan 1998 (RuG), dan Wahyuningrat angkatan 1998 ke Universiteit Utrecht. Mereka adalah bagian dari sebanyak 170 (seratus tujuh puluh) warga Indonesia penerima beasiswa StuNed untuk tahun akademik 2006-2007. Ketujuh alumnus FHUI tersebut telah memulai studi mereka semenjak awal September 2006 ini. Mereka belajar dalam berbagai program studi spesialisasi mulai dari International Law and International Organization, International Human Rights, sampai International Economic and Business Law. Sebelumnya ketujuh alumnus FHUI tersebut bekerja dari berbagai latar belakang profesi yaitu diplomat, pers, tenaga lembaga swadaya masyarakat, peneliti, dan praktisi hukum. Pemberian beasiswa tersebut merupakan konkritisasi dari komitmen Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membantu pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Seperti halnya kita ketahui bahwa proses penegakan hukum dan juga pembangunan hukum di Indonesia yang masih lemah hingga sekarang sangat membutuhkan profesional-profesional di bidang hukum yang memiliki komitmen untuk membangun dan memperbaiki hukum di Indonesia. Oleh karena itu diharapkan dari seluruh alumni FHUI yang sudah maupun sedang menuntut ilmu di luar negeri untuk dapat bekerja keras menimba ilmu agar dapat diaplikasikan di Indonesia. Diharapkan agar kesempatan belajar di luar negeri tersebut tidak hanya akan dimanfaatkan secara pribadi oleh setiap penerima beasiswa tetapi juga untuk didedikasikan bagi kemajuan Indonesia. Demikian juga kontribusi untuk almamater FHUI diharakan agar nantinya para penerima beasiswa tersebut bersedia untuk menyumbangkan ilmunya kepada dunia akademik di FHUI baik sebagai dosen maupun kontributor dalam pelatihan, lembaga-lembaga studi dan penelitian, serta pembicara dalam seminar-seminar yang diadakan oleh FHUI. Kiranya seluruh daya dan upaya yang akan dijalani oleh para penerima beasiswa tersebut di luar negeri akan selalu dalam satu semangat yaitu untuk berpartisipasi dalam pencapaian cita-cita kemerdekaan Indonesia demi masyarakat yang adil dan makmur.

(Immanuel A. Indrawan)

nama saya di koran republika

Koran Republika, Rubrik Lintas Iptek

Jumat, 14 Juli 2006

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=256538&kat_id=359

Belanda Berikan Beasiswa kepada Profesional Muda Indonesia


JAKARTA -- Pemerintah Belanda menyerahkan beasiswa StuNed kepada profesional muda Indonesia untuk tahun akademik 2006/2007, Kamis (13/7). Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Mr Nikolaos van Dam, menyerahkan beasiswa StuNed 2006 didampingi Ad de Leeuw, direktur Netherlands Education Centre (NEC), dan Dedy S Priatna, kepala Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Perencana Bappenas, di kantor NEC, Jakarta.
Beasiswa diberikan kepada Evi Mariani Sofian (wakil dari media), Wahyuningrat (wakil dari media), Vera Yuniati (wakil dari media), Dwi Agustian (wakil dari universitas), Merylia (wakil dari institusi pemerintah), Tomy Ananda Kusuma (wakil dari Lembaga Swadaya Masyarakat). Mereka akan mengikuti jejak 786 profesional muda Indonesia yang telah menerima beasiswa StuNed.
Duta Besar Belanda mengatakan StuNed merupakan instrumen yang berguna dalam upaya saling memahami budaya masing-masing. Menurut dia, kelebihan studi di Belanda yaitu Belanda memiliki kedekatan dengan Indonesia. Belanda dan Indonesia memiliki latar belakang sejarah bersama. Lebih dari lima persen masyarakat Belanda berasal dari Indonesia. Ratusan kata dan ungkapan Bahasa Indonesia masih dipakai dalam Bahasa Belanda hingga sekarang. Makanan Indonesia dapat dijumpai dengan mudah hampir di seluruh Belanda.
n pry

tulisan jaman kuliah

ada yang masih menyimpan tulisan saya jaman dahulu di majalah kampus "suara mahasiswa UI
wah membangkitkan sebuah memori jaman idealisme sangat bersinar cerah.

http://irfan.netfirms.com/maj/laput-pesta.htm

Pesta Seronok Itu
3 Agustus 2000

Acara dibuka dengan sekelompok cewek-cewek usia muda, bercelana superketat dan superpendek, plus sepotong kain, yang mungkin mereka sebut baju, fungsinya hanya menutup dada saja. Mereka menampilkan pertunjukan tari, yang rasanya sulit untuk dibilang punya cita rasa seni tari. Gerakan-gerakannya lebih condong kepada gerak sensual yang memancing sensasi erotis.
Lalu ada peragaan busana, dibawakan oleh para peragawati yang aduhai. Tapi alamak, rasanya busana yang dibawakan jauh sekali dari fungsi dasar busana. Lebih banyak membuka bagian tubuh ketimbang menutup tubuh. Beberapa diantaranya malah dibuat dari bahan transparan, sehingga tubuh sang peragawati terlihat menerawang. Orang yang melihat dapat mengetahui kalau si peragawati tak memakai penutup dada ataupun bentuk pakaian dalamnya.
Kemudian kegiatan penunjang. Ada lomba gebuk-gebukan bantal, mirip dengan yang di tujuh belas agustusan, kalau kalah sama-sama basah kuyup kecebur. Cuma bedanya, yang basah kuyup silahkan berganti baju di kamar ganti, bukan sembarang kamar ganti, tapi orang diluar dapat melihat bayangan orang yang sedang berganti baju. Wow! Itu baru yang terjadi pada 'Acid Rain Party', di mana para pengunjung diwajibkan untuk berbasah ria oleh semprotan air massal.
Dalam pesta serupa, yang bertajuk 'Bubble Party', ada yang namanya Oil Wrestling, yakni acara gulat cowok-cewek dengan pakaian ketat di arena yang dilumuri oli. Ada juga mandi busa, kontes dimana peserta tampil nyaris telanjang. Dalam pesta-pesta seronok, yang biasanya disponsori oleh produsen rokok itu, selalu sukses dalam meraup pengunjung. Setiap perhelatan, Bengkel Night Park yang menjadi lokasi, selalu kewalahan hingga tak mampu menampung seluruh pengunjung, yang kian malam kian ramai berdatangan. Seolah ditengah imbas krisis yang melanda, harga tiket masuk tidak menjadi kendala bagi mereka. Acara ini memang selalu didahului oleh promosi besar-besaran dari hari ke hari, ditampilkan juga pada hari-H sekilas suasana di sana,juga tentu saja ajakan agar bergabung ke sana. Mereka seakan hendak menampilkan kesan, bahwa bukan remaja masa kini, jika tidak ikutan pesta.
Suasananya nyaris sama, apakah itu Lucky Strike Massage Party, Nyala-nyala Noceng Party, ataupun Think Fast Party, dibawah temaram lampu dan siraman efek cahaya, mereka bergoyang dan disuguhi berbagai macam hiburan. Menjadi digemari, pesta semacam ini ibarat hiburan baru yang memuaskan mereka, ketika dirasa suasana di diskotek makin terasa biasa-biasa saja.
Sebuah trend baru, yang memang menguntungkan kedua pihak. Di satu sisi anak-anak muda yang haus hiburan baru, di sisi lain pihak penyelenggara, yang memberi hiburan sembari menjaring pangsa pasar baru untuk setiap produknya.
Apakah atraksi sensual dari 'Acid Rain Party' ini bisa termasuk kategori porno ? Beberapa pengunjung yang sempat ditemui sebuah media di tiga kota ketika ditanya aktivitas atau hal apa di kalangan muda yang berpotensi merusak moral bangsa, umumnya mereka menjawab korupsi, KKN, penyalahgunaan narkotika, tawuran, dan perjudian mestinya harus diletakkan di atas kasus sensualitas yang tengah diributkan belakangan ini.
Banyak di antara mereka malah setuju bahwa KKN dan manipulasi wewenang merupakan kebejatan yang paling parah di negara ini. Seperti kata salah seorang mahasiswa dari sebuah perguruan tinggi swasta di Bandung, "Sudahlah, nggak usah munafik! Soal kebejatan moral, ya Bapak-bapak yang ber-KKN itu jauh lebih parah!'' katanya.
Iwan, seorang profesional muda yang bekerja pada sebuah konsultan pemasaran di Jakarta juga menimpali, "Kita-kita ini sudah bosan dan jenuh oleh urusan krisis dan politik yang tidak habis-habisnya. Namanya juga anak muda. Sekali-sekali cari hiburan kenapa musti diributin?!" Lia, seorang dokter gigi muda malah lebih sewot lagi. Menurutnya tidak logis kalau acara ini dikategorikan porno.''Masa berpakaian senam pada tarian aerobik begitu dibilang porno. Yang benar saja. Bisa-bisa nanti orang berenang mengenakan long dress.''
Dari isu erotisme dan pornografi yang tengah diributkan-dengan menyudutkan sejumlah artis terkenal seperti Sophia Latjuba, Inneke Koesherawati, Ayu Azhari, dan Sarah Azhari lantaran pose-pose seronok mereka-sebagian memang mengaitkan dengan aktivitas anak-anak muda masa kini yang dianggap sudah 'melenceng' dari moral ketimuran.
R. Wahyuningrat

ada yang mengutip nama saya

ada yang mengutip nama saya, dengan bangga saya share tulisan itu, silahkan mencari nama saya... hmmm kang agus memang luar biasa...

http://asopian.blogspot.com/2006_03_01_asopian_archive.html

Etika Jurnalisme

Oleh Agus Sopian

DIAKUI atau tidak, pers memiliki special privilege, hak-hak istimewa. Tak jarang hak-hak istimewa ini dikesani bekerja paralel dengan kewenangan institusi lain. Satu contoh, pers bisa bertindak seperti polisi ketika muncul suatu kasus yang memerlukan penyelidikan. Bedanya, petugas polisi menuangkan hasil penyelidikannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan) untuk dibaca atasan, kemudian diteruskan kepada jaksa atau hakim di pengadilan. Wartawan menuliskannya dalam kolom-kolom berita untuk dibaca publik. Bedanya lagi, polisi diberi pistol dan wartawan cukup bersenjatakan pulpen dan jolt note atau alat perekam, entah tape recorder atau kamera.Special privilege pers tak hanya sebatas itu, tapi kadang menjangkau lebih jauh ke dalam kehidupan politik negara. Lintas sejarah memperlihatkan dengan jelas bagaimana insan pers sekelas Ida Tarbell mampu melahirkan opini baru tentang politik ekonomi perminyakan Amerika, segera setelah Ida Tarbell menyelidiki kiprah Standard Oil Company, milik keluarga terhormat John D. Rockefeller. Itu awal abad ke-20. Pada paruh kedua abad yang sama, Bob Woodward dan Carl Berstein dari Washington Post kembali mengingatkan special privilege pers itu ketika menyelidiki kecurangan politik Partai Republik hingga berbuntut jatuhnya Richard Nixon, politisi ulung cum presiden Amerika di tahun 1970-an. Baik kiprah Ida Tarbell maupun duet “Woodstein” dianggap ikut meletakkan setting budaya politik Amerika, seperti juga lembaga kongres atau lembaga-lembaga lain.Di Indonesia, wartawan yang membaca sejarah pers dengan seksama, niscaya akan mengetahui bagaimana Indonesia Raya membongkar korupsi Pertamina. Suatu tindakan heroik, yang jauh melebihi kecepatan polisi atau jaksa kala itu. Agak ke sini, Tempo memutuskan untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi Akbar Tanjung hingga meledak apa yang disebut “Bulog-gate.”Tidakkah Ida Tarbell, “Woodstein”, Indonesia Raya dan Tempo, melampaui batas-batas kewenangan aparat penegak hukum? Sekali lagi, inilah special privilege: bahwa pers berhak mencari, mengumpulkan, menyusun dan menyiarkan informasi kepada publik. Informasi bisa apa saja, mulai ramalan cuaca, hasil pertandingan olahraga, aktivitas ekonomi, politik, kebudayaan, agama dan banyak lagi.Dengan fungsi dan peran yang sedemikian besar itu, pers jelas tak hanya memerlukan pagar hukum, tapi juga pagar etika. Hukum, dengan daya special privilege yang sedemikian kokoh, bahkan sering tak bisa berbuat banyak terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan pers. Misalkan saja, bisakah hukum mengambil tindakan terhadap pers yang nyata-nyata mengeritik negara, bahkan mengecam kebijakan penguasa nomor satu? Di zaman raja-raja, ketika hak-hak politik sipil tak mendapat jaminan konstitusi secara layak, orang atau institusi yang mengeritik negara, bisa ditangkap, dihukum, malahan bisa dipancung dengan tuduhan tak setia kepada negara dan penguasa. Bagaimana di zaman ini? Tunggu dulu.Benar bahwa kritik terhadap negara atau penguasa, terkadang bisa dianggap memuat suatu defamation (penistaan), dalam hal ini bisa dianggap sebagai suatu prosekusi libel. Tapi, special privilege pers dapat mengelak dari anggapan tadi. Caranya, cukup dengan dalih, bahwa pers memiliki fungsi esensial untuk menjalankan kontrol sosial, dan negara atau penguasa jelas-jelas merupakan bagian dari kehidupan sosial. Negara-negara maju umumnya tahu soal special privilege ini, sehingga tak perlu buang energi capek-capek untuk memperkarakan pers.Kenapa negara tak bisa menggugat pers ketika mereka merasa dijahati dengan kritik atau kecaman pers? Wahyuningrat, seorang kolega di salah satu milis milik Yayasan Pantau, mengingatkan seputar pendapat Toby Mendel. Orang yang dimaksud adalah direktur program hukum pada Article 19, sebuah institusi dari London yang mengampanyekan kebebasan berekspresi di seluruh dunia. Article 19 ikut memberi pertimbangan terhadap kelahiran UU Pers No. 40/1999. Salah satu kertas kerja Toby Mendel yang terkenal adalah Freedom of Information: a Comparative Legal Survey, yang menghimpun hasil survai kasus-kasus hukum di sedikitnya 10 negara: Bulgaria, India, Jepang, Meksiko, Pakistan, Afrika Selatan, Swedia, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat.Dalam versi Toby Mendel, ada tiga basis pendapat pendapat mengapa negara tak bisa menuntut pers. Pertama, kritik terhadap pemerintah adalah vital untuk menyukseskan demokrasi, dan tuntutan pencemaran nama baik menghalangi perdebatan bebas perihal masalah vital yang menjadi perhatian publik. Kedua, hukum pencemaran nama baik dibuat untuk melindungi reputasi. Badan atau instansi tak memiliki hak menuntut karena reputasi yang mungkin mereka miliki adalah milik publik. Ketiga, pemerintah memiliki banyak kemampuan untuk membela dirinya dari kritik tajam dengan cara lain, misalnya merespon langsung pada semua dugaan.Berpegang pada basis pendapat Mendel atau tidak, banyak pers yang lolos dari lubang jarum hukum ketika mereka terkena dugaan melakukan kejahatan terhadap negara. Salah satu yang terkenal adalah ketika The New York Times membongkar keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Times diminta pemerintah Amerika untuk memetieskan isu dokumen soal itu, yang kemudian dikenal sebagai skandal Pentagon Papers. Times melawan, dan bahkan meminta pengadilan agar pemerintah Amerika memberikan volume sisa dokumen lain, yang belum dimiliki Times untuk kepentingan pemberitaan. Amandemen Satu memenangkan Times, sekaligus makin menegaskan adanya special privilege dalam tubuh pers untuk “kebal hukum”.Kekuatan, implisit di dalamnya kekuasaan, yang dimiliki pers jelas-jelas tidak kecil. Pers bisa menjatuhkan siapa saja yang tak disenanginya tanpa takut aturan hukum positif dan suprastruktur politik. Tepat pada titik inilah pers dipandang perlu pagar lain bernama etika, nilai-nilai moral yang menghendaki pertanggung-jawaban nurani jurnalisme.Di Indonesia, etika jurnalisme dirumuskan dalam seperangkat aturan moral bernama Kode Etik, yang dirumuskan oleh banyak organisasi kewartawanan mulai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saya melihat, hampir semua etika jurnalisme yang dirangkum oleh organisasi-organisasi kewartawanan kita, lebih mengurusi apa itu akurasi, pemberitaan berimbang atau hak jawab.Etika jurnalisme lain, yang jauh lebih esensial seperti independensi, nyaris luput dari perhatian. Bahkan Kode Praktik (Code of Practices) yang disusun oleh Dewan Pers lebih memberi tekanan pada soal akurasi tadi, demi berlakunya etika dan standar jurnalistik profesional serta media yang bertanggung jawab. Padahal, tujuan jurnalisme, tentu saja bukan akurasi. Akurasi hanyalah salah satu metode dalam verifikasi, dan verifikasi adalah usaha untuk mendapatkan kebenaran yang bersembunyi di balik suatu fakta. Akurasi masih separuh langkah dari tujuan jurnalisme.Di hampir semua negara maju, kode etik jurnalisme justru disusun oleh lembaga pers, dan bukan lembaga kewartawanan. Kode etik ini sering jauh lebih bertenaga sebab di dalamnya terangkum sanksi secara tegas. Saya suka salah satu butir kode etik yang dimiliki The New York Times, yang “menempatkan plagiarisme sebagai dosa yang tidak bisa dimaafkan.” Karena penjiplakan tak bisa dimaafkan, Times bisa menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap wartawan yang melakukan plagiarisme. Salah satu isu plagiarisme yang kemudian jadi berita besar di seluruh dunia adalah kasus Jayson Blair, seorang wartawan muda yang cerdas.Perilaku bebal Blair dimulai saat menuliskan kisah keluarga Jessica Lynch, tentara Amerika yang tertawan di Irak saat Amerika menyerbu negara itu awal tahun 2003. Laporan Blair menerbitkan kecurigaan San Antonio Express-News, dan menganggap Blair telah melakukan penjiplakan. Penyelidikan internal Times menghasilkan beberapa hal janggal mulai fakta Blair sama sekali tak pernah datang ke kota di mana keluarga Lynch tinggal, selain tak pernah berhubungan dengan keluarga Lynch, baik datang secara omni present maupun menelepon. Times menyimpulkan Blair telah melakukan penjiplakan dan tak layak menjadi wartawan Times lagi. Bersama kepergian Blair, pemimpin redaksi Howell Raines serta Redaktur Pelaksana Gerald Boyd mundur.Kode etik memandu Times untuk mengambil keputusan secara cepat, tanpa melewati liku-liku hukum yang berlarut-larut. Etika jurnalisme juga sekaligus meruntuhkan ego The New Times yang selama ini menolak adanya ombudsman, lembaga yang bertautan erat dengan pemantauan pelaksanaan etika jurnalisme di masing-masing institusi pers. Sekarang Times memiliki ombudman dengan nama “redaktur publik” -- yang secara langsung mematahkan argumentasi di seluruh dunia bahwa ombudsman tak diperlukan institusi media. Analog dengan itu, media-media di Indonesia juga perlu ombudsman untuk mengendalikan kekuasaan yang dimilikinya. Ini semata-mata agar aturan main organisasi pers, baik secara internal maupun eksternal, dapat dipertanggung-jawabkan kepada publiknya. [end]
Tulisan ini adalah makalah pengantar untuk seminar Orientasi Jurnalistik 2006 di Kampus Fak. Ilmu Komunikasi, Unpad, Bandung, Senin 27 Februari 2006.