Wednesday, February 28, 2007

...

oh tuhan tolonglah aku sedang patah hati

oh tuhan ternyata rasa ini memang perih

benar apa yang mereka katakan

tak pernah kusangka apa yang kurasa

ternyata tak sama dengan apa yang dia rasakan



Monday, February 26, 2007

Nggak punya duit seketika

Pernah ngerasain nggak punya duit sama sekali, pada suatu saat yang crucial dalam hidup lo? Bukan karena elu nggak punya duit karena low income, atau karena lo bergaya hidup boros ye. Ini perasaan yang mirip banget kayak orang kecopetan. Ilang sekejap.

Elo mencoba tenang binti cool. Namun sekali lagi tidak berdaya. Yang elu alami adalah dengkul terasa kelu dan keringat pucat. Yang bertambah buruk adalah kalau sarana telekomunikasi terhambat, dan tiada pula sebatang stress pain killer yang tersedia, seperti majalah, permen, atau sebatang nikotin.


Gue merasakan hal itu.


Okelah cerita ini bermula di suatu siang di sebuah stasiun kereta di kota kecil bernama ede-wageningen.


Gue berencana meninggalkan wageningen, setelah menginap semalam untuk sebuah pekerjaan intelijen yang tidak perlu disebutkan secara specifik. Maklum, sebagai agen rahasia Mossad gue kudu siap sedia di setiap penugasan rahasia dari komandan. Dalam kurun waktu yang sempit, yakni dalam 2 jam gue harus segera sampai di kota Risjwijk, Delft untuk menghadiri jamuan makan gala dinner kenegaraan, yang digelar oleh salah seorang pejabat teras penguasa jalanan
sekitar taman suropati yang sedang studi di negeri alsjeblift ini.

Gue sudah memegang rencana perjalanan yang bisa diikuti dengan
tenang. 12:28 naik kereta intercity jalur 3 ke denhaag centraal, sampai disana di jalur 4 jam 12:51 terus 13:20 naik stop trein ke denhaag hollandspoor, sampai jam 13:30, dilanjutkan naik trem nomor 17 sampai ke admiral.

Gue melaju ke mesin penjual tiket otomatic. Gue masukkan kartu ATM rabobank gue.



Terus itu kartu keluar.



Hah? Gue masukin lagi terus ganti ke model chipknip. Eh tenyata lupa gue perbaharui itu chipknip gue. Saldonya kurang, jadinya nggak bisa bayar pake chipknip. Tapi kan kudu bisa pake debit card. Eh itu mesin muntahin keluar aja lho.


Gue jalan ke loket deh. Padahal musti nambah 50 cent kalo di loket. Gue minta deh one return ticket to delft. Terus bayar pake gesekan debit card. Eh kok ada sesuatu yang aneh di mesin itu yah? Terus si penjaganya bilang aneh neh. “No money kalee,” kata die. Hmmmph. Malu banget gue. Perasaan nggak deh. Yah nggak banyak-banyak amat seh. Tapi kan kayanya saldonya masih cukup buat bolak-balik tiga kali ke Paris. Gue bilang ama itu meneer, “Tunggu bentar ye gue ke ATM di depan dulu.”


Pergilah gue ke ATM post bank di depan. Eh bener, itu mesin muntahin kartu gue melulu. Wah tambah panik gue, mana kereta yang jam 12.28 udah jalan lagi. Gagal buyar deh. Gue telepon temen gue di wageningen. Walah, HP gue meski canggih ternyata providernya nggak canggih. Sering ada gangguan. Nah kali ini gangguannya lagi mendadak nyerang. Gak bisa konek-konek. Bete berat. Gue ngapain ye? Gue balik naek bus ketempat temen gue percuma, kan buat masuk ke kamar die, kudu nelpon dari depan, kalo nggak lama banget nunggu penghuni apartemen yang bukain pintu.


Gue mencoba tenang, gue liat isi dompet, iya loh bener nggak ada selembar dua lembar euro di dompet gue. Lagian di negara canggih semua pake kartu plastik jadi males bawa-bawa cash banyak. Hmmm apa itu tadi? Kartu plastik, gue lirik kartu sakti yang mestinya nggak gue pake kecuali keadaan darurat. Yaitu kartu HSBC gue yang gue bawa dari Jakarta dan tadinya gue kira nggak bakalan gue pake. Baiklah gue masukkan kartu dari bank yang katanya bank dunia yang bertradisi lokal. Gue pijit pin-nya. Lha nggak bisa keluar duit, katanya nggak bisa transaksi seperti itu, hubungi bank anda. Alamak.


Duit cash nggak ada, ATM nggak bisa, CC juga nggak bisa.


Gue kembali ke loket. Ternyata tiket gue masih ada tuh. Gue tanya, “The ATM outside doesn’t work with my card. Can I pay with my credit card?” iya dong, kalo nggak bisa narik cash pasti CC bisa buat transaksi di luar negeri dong. Terus si bule bilang, “Unfortunately it is impossible, we do not accept that kind of payment.” Aduduh.


Terus si bule nunjukin kalo ada ATM lain diluar stasiun sebelah lain, nyebrang terus ke deretan pertokoan. Hmmm. OK deh gue coba. Sampailah gue ke hadapan ATM bank gue, Rabo bank. Dan hasilnya sama aja, muncul deretan tulisan nggak jelas bahasa lokal, terus muntahin kartu, CC dimasukin serupa juga, nggak bisa narik duit jek. Abis Rabo bank, gue coba ABN Amro, ING, Postbank lagi, Rabo bank lagi. Ampe capek.


Gue sampe nelepon ke temen yang bisa gue kontak di kota laen, untuk transfer duit, kalo mungkin ternyata ada saldo minimum, jadi karena dibawah saldo minimum gue nggak bisa gunain kartu, tapi aneh deh. Kayanya nggak mungkin. Terus gue batalin ke temen gue itu, karena kata temen gue yang laen kayanya magnetic di card gue rusak, tapi aneh kalo itu yang rusak, semalem gue masih bisa kok berinternet banking.


Gue telepon juga temen asal Rotterdam, gue cerita deh keadaan gue. Abis nye nggak enak ama yang di delft, gue kan dalam jamuan itu membawa misi khusus yang sangat krusial, membawa piring dan sendok hehehehe. Masak jamuan kenegaraan gagal bukan karena kambing gulingnya gosong, tapi gara-gara piring dan sendoknya nggak muncul.


Bayar dengan kartu plastik. kartu plastik di dompet nggak udah dicoba semua, termasuk kartu fitness, verblift document, kartu student, sama kartu bonus Albert Heinz. Kali aja manjur. Duit di dompet nggak ada. Lagian mana kepikiran, udah 6 bulan terbiasa gesek melulu di negeri ini. Nelepon ke sekutu terdekat di kota ini nggak bisa-bisa gara-gara provider yang aneh.


Stress deh, semua tanda-tanda menyerang. Dan dalam keadaan itu tidak bisa berpikir jernih, disaku tinggal korek api, tadinya rencana mau beli rokok di stasiun. Tapi tiket aja nggak kebeli gimana beli gituan.


Mau nyolong-nyolong naek bisa seh, tinggal doa kalo nggak diperiksa. Sebagai lulusan kampus depok, gue udah terlatih nggak beli tiket. Tapi itu di KRL jabotabek. Ini kan beda bagaikan bumi dan langit.Terus kalo diperiksa terus didenda 40 euro terus nggak bisa bayar lebih parah lagi. Bisa malu-maluin ibu pertiwi neh.

Temen gue menelepon terus bilang, beli tiket ke Utrecht aja dulu yang deket, disana kan hometown gue, jadi bisa ngapa-ngapain kalo kenapa-kenapa. Tapi bayarnya pake apa ya? Dia bilang pake koin.


AHA. Iya ya koin, ada nggak ya gue punya koin? Di kantong gue ada koin 2 euro, 50 cent, dan 20 cent. Wah mana cukup buat beli tiket pulang. Gue ubek-ubek tas gue, kali aja ada nyelip, soale gue suka nyelipin koin 2 euro atau 1 euro buat sewa locker di library. Eh bener ketemu 2 koin 2 euroan. Total gue punya harta recehan 6 euro 70 cent.


Gue ke mesin ticket deh, click one way ticket to Utrecht. Keluar deh tulisan 6, 60.


Gile pas bener ngepas. Kembali 10 cent.


Gue kantongin itu ticket, naek ke peron. Jam udah menunjukkan pukul satu siang lebih banyak. Gue akhirnya meninggalkan stasiun Ede menuju kembali ke Utrecht. Tadaa!!


Apakah gue berhasil menuju Delft? Apakah gue akhirnya bisa punya uang kembali? Bagaimana nasib ticket gue yang masih di loket? Dan gimana nasib kartu ATM gue seterusnya? Kita nantikan bersama kelanjutannya dalam episode mendatang.

Saturday, February 17, 2007

what next?



Itu terlontar begitu saja dari salah seorang narasumber saya. Saat itu kami sedang berbincang-bincang di green room, ruang tunggu sebelum mulai siaran todays dialogue. Narasumber, yang seorang doktor pengamat hukum muda dari universitas gajah mada, melontarkan pertanyaan itu, sebagai respon kala saya mengabarkan padanya bahwa saya mendapat beasiswa ke belanda.

Kalimat yang sama terlontar juga dari kolega saya, seorang redaktur senior tabloid ekonomi di Jakarta, saya mengutarakan kabar yang sama disela-sela saya membrief dia apa materi yang akan kita fokuskan sebelum mulai rekaman. Saat itu kami sedang bersiap untuk wawancara ekslusif seorang ibu menteri yang kontroversial, yang saat itu masih berkantor di sekitar taman suropati.

Kini kalimat yang sama kembali mengusik saya, saat berbincang via YM dengan kawan saya, seorang jurnalis muda di sebuah majalah terkemuka nomor dua di tanah air. Dulu dia menyemangati saya setiap saya stress dan sering mengobrol dengannya, dini hari di teras kantornya di kalibata. Saat saya baru pulang kantor dan dia sedang berkutat dengan deadline.

Yang pasti, harus balik dulu ke tempat asal muasal sebelum ke belanda. Toh sekeruh apa pun kubangan kita, tentu kita harus kembali menceburkan diri kesana. *iya kalo kita kebo, bukan manusia*

Kali ini saya mengajak anda melihat beberapa karyaku, yang lahir di sela-sela kesibukan.



Undangan untuk rekan saya seorang video editor muda yang menikahi seorang make up artist untuk grup dancer terkemuka. Nuansa comic dan distro dihadirkan disini atas permintaan kedua mempelai.



Yang ini untuk seorang wanita cantik yang mau semuanya serba perfect saat menikahi suaminya di sebuah ourdoor party yang serba hijau. Serasi dengan kebaya, pernik-pe
rnik, dan filosofi hidupnya akan arti sebuah pernikahan.



Keduanya adalah karib saya, rekan sekerja satu profesi. Simplicity and Elegance. itulah nuansa sederhana yang saya hadirkan untuk sekedar tambahan detail di undan
gan dengan dominasi foto pre wedding mereka.



Pasangan ini sangat mencintai pekerjaan mereka sebagai banker. Semua dipercayakan kepada saya, saya membuat sedikit eksperimen dengan model lipatan yang unik. Dan warna yang kontras dengan dominasi putih pada foto pre wedding mereka.




Untuk pasangan pengacara dan dosen hukum ini, saya khusus meriset segala gerak-gerik mereka. Hasilnya sebuah undangan 2 versi yang handy, simple, ethnic, dan mencangkup semua publik yang mereka undang untuk one week celebration khas betawi.



Ini klien perdana saya, untuk ketulusan cinta mereka, saya terjun mulai dari proses foto hingga penempatan beberapa pernik-pernik handmade. Sebuah undangan dengan konsep minimalis dan mengutamakan kekuatan foto hitam putih yang bicara sejuta ekspresi.



Sobat karib. Menelepon saya jauh dari jambi, tempat kerja mereka. Untuk pasangan jaksa yang sangat mencintai dunia hukum ini, dan hanya punya sedikit waktu untuk persiapan pernikahan mereka di jakarta, segalanya saya kerahkan. Toh kita tidak dapat biarkan penjahat lepas karena mereka cuti mengurus desain undangan? :) sebuah undangan yang simple dan cukup unik karena berhasil menangkap karakter mereka.



Yang ini saudara dari rekan sekerja, mereka ingin undangan unik dengan tehnik lipatan yang terlihat mewah.



Pasangan diplomat muda. Hanya punya sedikit waktu sebelum mereka berdua dinas keluar negeri. Nuansa romantis menyeluruh adalah tema yang ditampilkan dalam desain ini. Detail pernik-pernik menambah kesejukan warna hijau muda yang dominan.

Bagaimana menurut anda? Ini kalau industri media sudah tidak mau sumbangsih saya lagi...

Friday, February 16, 2007

BODAT: Cultural Learnings of Netherlands (the series)

Once again, wahyuningrat productions proudly presents…
In association with hadiprayitno entertainments…
Based on famous best seller book by pandu permana…

BODAT: Cultural Learnings of Netherlands (the series)

Part I, mengenal supermarket terkemuka milik paman albert yang legendaris.
















Part 2, mengenal tata cara belanja yang benar, di sebuah tempat bernama centrum.











Part 3, tips mengupas bawang putih di belanda.









Credit Title
Executive Producer: wahyu
Director of Photography: wahyu
Lighting Chief: Mia
Unit Production Manager: Ririn
Location Manager: Ika
Still Photographer: Kiki
Casting Manager: Detty

Cast:
Bodat as himself
Kiki fatmala as tukang ikan
Inneke koesherawati as penjaja koran
Diah Permatasari as pengunjung supermarket 1
Diana Pungky as pengunjung centrum
Sally Marcelina as penjual buah
Gitti Srinita as kasir Albert Heinz

Special performance by
Risky Pandu Permana
Irene Hadiprayitno
Mirya Wibisono
Jeroen Zandbergen

special thanks to
walikota utrecht
politie centrum
paman albert dan seluruh kru yang bertugas