Entah letupan perasaan apa yang terjadi pada diri ini. Semuanya bergejolak. Lebur jadi satu. Hancur berkeping. Menjerit hati ini.
Bekerja pada profesi ini adalah selalu memperoleh informasi terkini dari para sumber-sumber yang bergeletakan dimana-mana.
Namun bukan informasi seperti ini yang ku harapkan untuk hinggap di telinga ini. Apalagi ditambah bukti visual yang menggeletak di tanganku.
Hubungan kita memang sudah putus sambung berulangkali.
Aku ini mungkin memang pria yang tidak layak. Berulangkali mengecewakanmu.
Selalu punya impian gila mengubah dunia. Lebih mengutamakan ambisi konyol diluar logika. Kerap mengajakmu kencan yang kurasa unik, namun kau rasa udik. Belum dapat membawamu makan di tempat yang layak. Senantiasa menjemputmu dengan kendaran di bawah standar. Dilengkapi dengan jam kerja yang sangat sangat tidak normal untuk hubungan normal.
Aku paling lemah dalam mengambil hati orangtuamu. Aku parah dalam melayani komunikasimu. Aku tidak sanggup memenuhi tuntutan jalinan layaknya manusia dengan pola hidup yang normal.
Tapi aku selalu berusaha. Aku mencoba. Penuh upaya dan sepenuh hati.
Bukan tanpa hasil, selalu ada perkembangan.
Namun itu belum cukup bagimu.
Hingga di saat yang kurasa saat sangat indah dalam hidup.
Kau berkata, cukup sudah.
Apa yang salah jika ada manusia yang punya cita-cita mulia. Memilih usaha menoreh tinta emas dibanding menambang emas. Memilih hidup dengan resiko dibanding hidup mapan. Memilih karir yang tidak dipilih orang kebanyakan. Melakukan pekerjaan amal yang sering tanpa imbalan. Hidup jujur dengan ambisi mulia untuk orang banyak. Punya impian agung mengubah dunia.
Yang salah adalah,
Pola hidupku itu semua bukanlah yang kau harapkan. Kau sudah cukup bersabar menerima semua itu. Sudah cukup menelan banyak sekali letupan-letupan. Kau hanya ingin kemapanan dan pola kehidupan normal. Jaminan dan kepastian.
Dan aku bukanlah orang yang bisa memberi itu.
Kau terlihat amat cantik sekali pada hari itu.
Aku berjalan ditengah banyaknya pengunjung. Telat datang karena tidak antusias untuk datang awal, sengaja datang menjelang usai. Langsung menuju ke antrian tamu. Berupaya tetap tegar saat menapaki tangga pelaminan. Makin mendekat, wajah ini makin bergetar.
Aku menyalami kedua orangtuamu dengan takzim. Melihatmu aku terpana sejenak. Kau terlihat makin cantik. Paling cantik dari segala momen dalam memori kepala. Aku memaksakan tersenyum. Mencoba tegar. Mengucap kata selamat dengan nada riang, namun agak tergetar. Kita saling mengecup kedua pipi. Aku mencoba tegar. Aku menyalami pria disampingmu. Badan terasa makin terguncang. Juga saat menyalami orangtuanya. semakin terasa keras guncangannya.
Menuruni tangga pelaminan badan terasa lemas. Aku tidak menuju ke buffet.
Menoleh sejenak memandangmu sekali lagi. Lalu kuputuskan segera keluar gedung. Kunyalakan sebatang rokok dengan tangan yang seperti terguncang. Di parkiran, tak terasa air mata sudah mengalir deras.