Hai! Kali ini saya akan mengajak Anda ke pengadilan. Yup, dan bukan hanya sebuah, tapi dua buah gedung pengadilan. Saya akan berbagi sedikit pengalaman memasuki kedua gedung ini. Mungkin bisa menjadi sedikit komparasi, dengan apa yang pernah saya atau Anda, rasakan saat memasuki gedung dengan fungsi serupa di tanah air.
ICC atau pengadilan kriminal internasional. Wuih serem jek. Saya mendiskusikan sedikit tentang pengadilan bergengsi ini sejenak sebelum kereta menuju Den Haag datang. Pengadilan ini memang bukan untuk mengadili kelas pembunuh berdarah dingin, apalagi maling sandal. Fasilitasnya juga berbeda jauh, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan. Yah kan kata orang bijak, kalau kamu membunuh satu orang kamu pembunuh, tapi kalau kamu membunuh ratusan bahkan ribuan orang, maka kamu jadi seleb. Hehehe. Eh ini serius lho, lihat Struett, 2004: 318.
Karena saya sedang membuat paper tentang pengadilan ini untuk sebuah mata kuliah, maka tiada alasan untuk mengunjungi demi menambah kredibilitas, ketimbang hanya tahu dari website atau buku belaka. Pas sekali dengan ajakan dari sebuah ekskul anak-anak hukum lokal utrecht.
Singkat cerita setelah ngoceh kiri kanan dengan cewek asal Houston disebelah, sampailah saya di depan gedung indah dimana ICC yang tersohor itu berlokasi. Jreng. Unik sekali gedung ini. Arsitekturnya kelewat futuristik. Oho, ternyata gedung pengadilan tingkat dunia ini dulunya bekas gedung parkir KPN, sebuah perusahaan telekomunikasi Belanda. Dengan deg-deg an saya memasuki pintu pengadilan.
Tarik nafas sejenak.
A small step for common people like me, a giant step for a man kind.
Gile tiga kali saya membuat metal detector menyalak titat titut. Bolak-balik, padahal saya sudah preteli semua aksesoris saya, apakah gerangan? Ternyata saya saat itu memakai sepatu kulit dengan ujung depan yang mengandung logam. Maklumlah saya agak sedikit kesulitan berkomunikasi dengan petugas sekuriti. Sedikit kritik. Bahasa resmi di pengadilan ini adalah Perancis dan Inggris. Namun petugas sekuriti memilih bahasa sendiri, bahasa belanda. Mungkin karena belum memasuki area internasional. Kalo sukses lolos pos ini, baru memasuki dunia tanpa bahasa londo.
Dan arrgh satu lagi yang menyebalkan. No camera inside. Ini sangat menyebalkan untuk turis norak seperti saya. Tapi yah ini kan upaya untuk menunjukkan kewibawaan institusi hukum paling bergengsi. Kemudian kami dibawa oleh petugas media relation, yang wajahnya mengingatkan saya akan Lucky Mirza Ericsson, ke kursi pengunjung sidang. Ruang sidang terlihat dari lapisan kaca anti peluru di hadapan kita. Kalau persoalan yang dibahas di dalam agak sensitif, makan layar akan turun sehingga kita tidak bisa melihat apa-apa, lalu audio juga bisa tiba-tiba silence jika perbincangan dianggap sensitif oleh bapak hakim yang mulia.
Ruang sidang mirip seperti di ICTY, lapisan-lapisan kayu mendominasi. Lalu deretan meja-meja. Dihadapan kita ada meja paling besar berpodium untuk para hakim. Dibawah mereka ada para panitera. Disebelah kanan belakang ada ruang khusus berkaca untuk para terdakwa, dihadapannya meja-meja penasehat hukum. Disebelah kiri berlokasi meja pihak penuntut umum. Di jejeran belakang perwakilan negara asal terdakwa dan negara korban. Lalu meja para penerjemah. Dan sebagaimana layaknya sidang tingkat internasional, monitor flat screen memenuhi semua meja. Konon semua sirkulasi dokumen, barang bukti, hingga kesaksian via teleconference dilakukan melalui layar-layar itu. Mirip warnet di bilangan benhil lah kira-kira.
Acara selanjutnya lebih diisi oleh presentasi dan pengenalan, sesi pertama dipandu oleh staf asisten salah satu hakim asal Jerman, dan sesi selanjutnya yang lebih seru dipandu seorang penyidik muda asal Canada dari kantor Prosecutor.
Mau ngomong fasilitas? Ini pengadilan punya mobil satelit sendiri buat teleconference dengan key witness yang sangat berbahaya kalau keberadaannya ketahuan. Interiornya nggak usah tanya keren banget, dimana-mana lantai kayu. Baunya mirip kayu jati asal Randublatung, Jateng. Enak banget itu diktator-diktator junta militer, penjaranya aja di Swiss, konon karena harus comply kudu sangat-sangat tidak boleh melanggar human rights, makanya fasilitasnya sekelas hotel. Bisa dikunjungin, bisa masak segala dan bahkan rekreasi.
Ok kita tinggalkan gedung tersohor itu. Karena saya tidak sukses foto session di dalamnya. Kini kite beralih ke pengadilan lokal. Utrecht district court, atau Gerechtsgebouw dalam dialek lokal, dan (sok) akrab dipanggil dengan Pengadilan Negeri Utrecht. Satu kelas dengan PN Jakarta Pusat. Kita akan lihat lebih dekat apakah berlaku sebaliknya, PN Jakpus sekelas dengannya?
Kali ini rombongan dipimpin oleh mpok Alexandra asal Swedia. Kita berlima, seorang cewek asal Houston yang juga ikut ke ICC, sohib gue si hidung bangir Sofka asal Macedonia, Jack si kalem asal British, dan tentu saja seorang ganteng asal Indonesia.
Rombongan memasuki gedung yang merupakan kombinasi arsitektur kuno yang dipertahankan, dipadu dengan arsitektur modern kontemporer ala kaca-kaca. Pemeriksaan metal detektor, kali ini saya lolos. Namun tetep aja terganjal di mesin scan barang bawaan ala pesawat. Kali ini karena pompa sepeda portable yang saya bawa di tas dikira senapan Uzi.
Oh ya, sesuai tradisi, setiap satu hari sesudah easter, semua district court membuka pintu mereka untuk kunjungan mahasiswa. Makanya acara ini sangat spesial untuk dilewatkan. Karena banyak kejutan menanti kita semua.
Pemandu kami datang, sangat ramah. Seorang ibu-ibu yang mengingatkan saya akan Ibu ketua PKK di RW saya, dan membuat kita semua kaget karena dia adalah sang ibu hakim. Si Jack tidak menyangka, kalau yang menemani kita keliling-keliling mengenalkan segala atribut pengadilan dan kru pendukungnya itu, sekelas hakim.
Setelah ngupi-ngupi dijamu si ibu hakim, dan ngobrol ngalor-ngidul membicarakan sistem perekrutan dan tatacara pernik-pernik lainnya. Tibalah sesi kedua, kali ini kita dipandu oleh seorang ibu yang terlihat lebih senior. Figur yang terbayang tentu saja si iron lady Harkristuti Harkrisnowo. Gile tipikalnye sama persis. Kita diajak naek ke balkon menonton sidang perkara perdana. Si ibu ini sangat berwibawa karena dialah ketua pengadilan itu, tapi beliau ramah abis. (si jack makin blingsatan) Dari balkon, semua yang terjadi di bawah diterjemahkannnya ke bahasa inggris. Sesi pagi ini adalah preliminary hearing.
Suasana dan fasilitas gedung sangat memukau, kita diperlihatkan ruang tunggu pengacara, ruang tunggu terdakwa yang dijaga polisi berpostur Swachgenezer, hingga library pengadilan, yang sungguh berbeda dengan ruangan dengan fungsi serupa di loteng PN Jaksel yang lebih mirip gudang kelurahan. Ruang tunggu terdakwa sangat terlalu manusiawi dibanding di Jakarta, seperti ruang tunggu hotel, cuma pake penjaga bersenjata yang, nggak sangar seh, tapi kaku.
Karena di kunjungan sebelumnya saya dibilang akan contempt of cout kalau jepret foto, dan takut dipenjara, hehe. Kali ini saya agak takut memfoto, namun saya beranikan diri ijin ke Ibu ketua PN, eh ternyata diijinkan, setelah dia menginstruksi lewat ketokan dibalik kaca ke ]pimpinan sidang, saya akhirnya menjepret sekali. Tadinya mau dapat momen bagus, cuma takut tersinggung jadinya kelewat deh. Momen saat terjadi adu argumen dan sang pengacara menenteng buku bertitle burgerlijk wetboek heheheh.
Pengadilan ini enak, sebesar gedung Mahkamah Konstitusi kita, dengan 40 hakim dan 400 officer pendukung. Belum termasuk aparat kepolisian dan petugas kantin. Diluarnya terdapat 3 monumen seni dari seniman terkemuka belanda. Jika diperhatikan dengan jeli, semua ruang sidang akan terdapat lukisan potret Ratu Beatrix tapi dengan gaya Picasso, matching sama desain interiornya. Asyik yah, kan seru kalo foto presiden kite di ruang sidang juga dibuat agak nyeni juga.
Ok deh, sekian dulu kunjungan kali ini. Kita bertemu kembali dalam kunjungan-kunjungan lainnya.
0 komentar:
Post a Comment