Acara pernikahan yang megah. Ballroom sebuah hotel bilangan Subroto.
Si dia berdiri anggun di pelaminan. Ia begitu indah bak bidadari. Alasan untuk datang, tapi lebih banyak juga alasan untuk tidak datang.
Menyalami mempelai wanita. Saat sun pipi, si dia berbisik di kuping, “Datang sendiri? Mau sampai kapan begini?” sindiran kejam. Seperti tidak cukup siksa batin dibuatnya. Pasang saja senyum terkekeh, sembari manggut-manggut.
Menyalami mempelai pria. Memeluk sembari menepuk bahu. Pertemuan dua sobat lama satu kos-kos an jaman susah dulu. Kali ini pria beruntung ini yang berbisik, “Sorry man, I’ve got her.” Duh. Kembali pasang muke pemain Poker profesional. Disambung senyum lebar Jerry Maguire, “Kalo untuk elo gue rela kok.”
Turun pelaminan, muter-muter gubuk. Nggak nafsu makan, tapi iseng ngantri Martabak Kubang.
Di pojokan, maksudnya mau menyendiri, ketemu siksaan lagi. Seseorang, dari masa lalu juga, menghampiri. Peluk hangat, kembali kulayani dengan senyum lebar dipaksa.
Lagi, dialog serupa diulang, “Kapan giliran mu? Ayo dong sebelum aku hamil lagi.” Mata hanya menatap anak kecil berumur 2 tahun yang bergerak lucu di sebelahnya. Ah, manisnya, kalo sama gue pasti jadinya lebih manis lagi itu bocah. Khayalan seandainya seandainya mulai terskenario di alam bawah sadar. Seakan tak rela.
Menoleh ke ibunya si anak kecil, “So tell me again, why we broke up three years ago?”
Ibunya nyengir, “You already knew the reason.” Kami terkekeh. Tapi mulut yang ini terkekeh getir.
Si anak lucu menghampiri Ayahnya yang mendekat datang ke arah kami. Kembali aku bersalaman. Makin keren aja ini orang. Bankir muda. Pasang senyum aktor watak, sembari kalkulasi liar. Orang seperti gue kerja sampe pagi, mempercayakan uangnya ke bankir macam dia, lalu bankir mengelolanya dan mengeruk keuntungan berlipat, sementara gue tetap banting tulang. Lalu sang bankir menikahi wanita gue. Banker always win, begitu kalo di film Casino.
Menyingkir dari keduanya, dengan alasan ambil minum. Menatap ke pelaminan, kedua mempelai tersenyum cerah berbahagia, sembari melakukan ritual salaman dengan antrian tamu. Mulai deh mengkhayal lagi.
Lagi asyik mimpi, ditepuk beberapa teman.
“Si anu mana? Kok nggak bareng si anu?” demikian sapa mereka. Belum sempat menjawab,
“Eh itu si anu bukan ya, kok datengnya nggak sama lo?” salah satu dari mereka menunjuk ke arah sepasang yang baru masuk aula.
Memang yang baru datang itu dia. Kok bisa ketemu disini juga. Aku menatapnya. Kenapa semua yang lepas dari genggaman terlihat sangat indah?
Dari kejauhan kedua tatap mata kami bertemu. Sorotnya dingin, semakin menggandeng erat pria disampingnya.
Sudah cukup. Saatnya untuk pulang.
*cerita ini hanya fiksi, seperti cerita-cerita lain.
2 komentar:
doh mas wahyu, daku dah membayangkan, daku kira beneran, hihi... jadi kapan mas nyusul? *kabur pake ojeg*
tapi katanya nih .. katanya ...
seorang pengarang tak akan pernah bisa lepas dari otobiografinya ;)
Post a Comment