Dua permasalahan yang menjadi fokus utama hidup seseorang. Akan sampai usia seseorang dititik ini, dan percayalah semua problematika akan muncul hingga titik nadir. Saya sampai pada topik ini setelah mendengar dengan tekun pelbagai permasalahan yang dihadapi kawan saya via YM tadi pagi, ada yang pusing nyari jodoh padahal dia sedang dalam jalur cepat ke puncak karir. Ada yang sedang pusing mengakomodir kebutuhan kedua keluarga besar saat mempersiapkan pernikahan. Ada yang makin mampus setelah belahan hatinya yang sudah kebelet mau kawin, eh malah tidak direstui orang tua.
Sebenarnya bagaimana sih kita memandang masalah love and marriage? Untuk menjawab masalah itu, seperti kata narasumber saya dulu, mas Ndang Sutisna, “Turunlah ke masyarakat dan carilah jawabannnya disana.” Saya langsung ambil anduk dan mandi, trus dandan wangi.
Saya mencoba mendatangi sekelompok orang malam ini di salah satu kafe yang menjadi head quarter mereka, Toque-Toque yang terletak di centrum Utrecht pas samping kanal Oudegraf. Sebuah kelompok dimana dalam salah satu blog nya temen saya memanggil mereka, kelompok tujuh student alstublieft. Nama ini diambil dari kata yang mutlak pertama diketahui oleh student yang sampai di negeri ini. Saya pertama tidak percaya, namun pertama kali di antri tiket kereta pas sampai di Schippol, dan lagi-lagi pertama kali menyodorkan strippenkart di Utrecht, nah kata inilah yang akan Anda dengar. Barulah dari situ terpicu untuk mempelajari kata-kata lainnya. Percayalah. Kalau tidak percaya dengarlah apa kata penjual kentang khas Belanda ketika menyodorkan segepok kentang dalam kertas mirip penjual kacang rebus di bogor plus mayonaise, walau anda mengeryitkan dahi pertama kali karena terfokus pada makanan aneh yang nantinya akan anda sukai itu, namun dengarlah apa kata penjual kentang itu, tak lain tiada bukan “Alstublieft.”
Untuk tercipta sebuah kelompok Focus Group Discussion yang memenuhi syarat keilmiahan, kelompok tujuh student alstublieft ini bisa dibilang sangat layak. Tujuh adalah bilangan aneh yang dianggap sexy, karena itu James Bond memilih code nya diakhiri nomor ini. Ganjil juga bukan karena sering voting, mereka lebih suka musyawarah kok. Mereka memang sedikit berkelakuan ganjil.
Dari segi demografi, mereka muncul mewakili kelompok yang telah sampai pada usia yang akan memandang serius kedua topik dalam judul, usia 20-30, segmen yang dituju pendengar radio hard rock FM. Pendapatan mereka mewakili kelompok menengah keatas dan beberapa menengah kebawah. Kebanyakan sih ditengah-tengah dan kadang kebawah banget kalo lagi sering jajan, tergantung lagi sale apa nggak. Pendidikan mereka S1 menjurus S2, S2 menjurus S3, cocok dari sudut pandang keilmuan. Dari jenis pekerjaan, ada yang white collar dan blue collar. Bahkan ada yang white collar namun nyambi blue collar, dan ada yang blue collar karena itu seragam kantornya, kebanyakan warga komuter, dan ada juga warga pedalaman. Dari segi SARA, mayoritas tinggal di pulau jawa dan beberapa tinggal di luar jawa, dan etnis bermarga hingga etnis impor, juga ada yang cuma warisan orang tua saja karena sudah berbaur dengan penduduk asli sejak kecil. Mewakili pemeluk dua agama besar di Indonesia dengan aliran sedikit moderat, klop lah dengan kondisi sosial negara. Dari segi status, 2 sudah menikah, 1 hampir menikah, 1 akan menikah, 3 single available, 1 menikah dan punya simpanan, 1 pernah menikah, dan 1 gagal menikah hehehe.
*Eh kok lebih? Kamu siapa? Pergi kamu!* “numpang Oom...”
Ok malam ini diskusi digelar. Pertanyaan ditanyakan satu-persatu. Nama dan jenis kelamin para responden akan dirahasiakan untuk menghindari tuntutan hukum dikemudian hari layaknya Milgrim Experience di tahun 1967. Oh ya, you are what your pour on your drink. Untuk menguji semboyan itu akan direveal sedikit deskripsi kelakuan khas dan apa yang diminum persona itu.
Responden pertama. Usia 30, belum menikah. Ia meminum kopi regular tanpa cream dengan sedikit sekali gula.
“Bagi gue cinta itu harus dicari, dan gue nggak akan agresif dalam mencarinya, biarkanlah ia akan datang dengan sendirinya. Tentunya ini setelah pengalaman sebelumnya, gue kan datang kesini abis patah hati.”
Kalo marriage?
“Gue cowok seh ya, jadinya usia gak masalah, meski orang tua dan gue udah pengen banget. Gue juga dilongkapin ama adek gue tuh. Tapi belum ada gimana dong?”
Ok makas...
“eh gue boleh numpang iklan nggak? Kali aja ada yang tertarik ama gue, gue bisa dihubungin di...
(maaf disensor, untuk kepentingan yang lebih akademis)
Responden kedua. Usia 31, sudah menikah. Ia meminum cappucino.
“Cinta nggak usah dibikin ribet. Jalanin aja.”
Marriage?
“Itu juga nggak usah dibikin pusing. Gue mah nggak mau ambil pusing, masih banyak kerjaan soale. Busyet. Orang laen aja yang pusing deh.”
Lanjut, responden ketiga. Usia 33, hmm, agak keluar dari TOR. Siapa yang ngundang dia? sudah menikah. Double ekspresso.
“cinta gue satu, buat anak dan istri.”
...
“ama bangsa dan negara juga”
Itu empat dong?
“kalo kawin yah, gue dulu ribet bener deh ngakomodasi kedua keluarga, wah temen-temen juga, temen gue kan banyak. Wah sumpah deh ribet. Gue sih nggak mau kaya gitu yah, tapi gimana dong yah kan buat keluarga. Itu kan pestanya keluarga yah.”
Responden keempat. Usia 26. Belum menikah. “Gue pesen coca cola aja boleh?” tidak merokok tapi minta rokok dan malu-malu pas ditanya.
“Hwah heheh, yah udah punya calon sih. Gue suka ama anak itu udah lama. Terus pas gue tanya eh dia suka juga. Jadian deh kita. Ah cinta itu ajaib.”
Terus?
“Kalo merit, udah rencana. Tapi tunggu saat yang bener dan semuanya bener deh ya. Pas lah udah ama usia gue sekarang. Sesuai schedule”
Responden kelima, usia 30 an, nggak mau reveal nomor buntut. Earl Grey Tea dengan dua gula. Sudah menikah.
“Cinta itu datang sejalan dengan kerinduan gue akan hal itu. Segalanya sangat romantis bagaikan film bollywood. Apalagi dia sangat penyayang, mau nerima gue apa adanya.”
Ahh...
“Ribet seh. Tapi harus itu. Biar nggak repot dikemudia hari. Wah pusing deh keluar banyak tenaga dan biaya deh pokoknya. Tapi sekali lagi, menurut gue harus. Persiapkan semuanya dari awal deh. Dan diatur yah, biar nggak kacau.”
Responden keenam, usia 24. mocca latte.
“No comment ah. I really love him deh...”
Pertanyaan kedua...
“Eh Lo sendiri gimana? Nanya-nanya mulu neh...”
Tapi...
“Udahlah cinta itu kadang butuh kepekaan. Ada disekitar kita namun harus cepat ditangkap, kalo tidak ia bagaikan asap yang keluar dari grill steak, lo dapat steaknya, namun biarpun itu daging tender, namun tanpa aromanya lo pasti merasa kurang kan?”
Whoa! Nice...
Responden ini lalu sibuk haha hihi dengan mocca latte nya.
Responden saya yang terakhir, usia 28 jelang 29, malah pesen Bir Hitam. Langka bener.
“Cinta itu yah, tiada lagi senyum lembut, sendiri berjalan di dalam gelap kemana arah yang kutuju, hanyalah bayangan beku. Indah cinta berakhir duka, mengalun sunyi dibuai mimpi. Punahlah sudah. Menjauh dari angan meragu. Kini kucari celah dahaga di jalanan penuh duri.”
Hmmm kayanya mirip sama lirik lagu Chrisye deh. Mungkin malam ini dia sedang patah hati.
Begitu beragamnya hasil study gue malam ini. Ketika menutup note dan memeriksa tape rekaman di perjalanan pulang, saya menerawang mereka-reka arti cinta bagi saya, selain apa kata Ari Lasso dalam MP3 di kuping. Ah cinta begitu penuh warna. Bagaimana dengan anda?
0 komentar:
Post a Comment