Hari makin larut. Aku masih belum terlelap. Detik mulai menunjukkan pergantian hari. Ditemani secawan mocca latte instan dan batang terakhir djisamsoe yang diberikan pemuda plontos baik hati, aku berniat menuntaskan bahan presentasiku lusa nanti. Alunan lagu cranberries di telinga mengisi sunyinya malam di student house ini, menutupi suara rintihan pasangan muda ras eropa yang sesekali terdengar di kamar sebelah. Kalau saja ini bukan di negara yang sangat toleran akan seks selayaknya tanah airku, pasti aku sudah ambil handycam, mengebor tembok, dan ku-upload di youtube.
Bicara soal perilaku muda-mudi di negeri ini sangat klop dengan semua fantasi liarku, sayang aku pemuda baik-baik. *heheh* Bayangkan minggu lalu, semua kumpul kebo, depan kamar, kamar samping kiri-kanan, dan agak malam datang lagi sepasang di kamar ujung, entah kamar lain bagaimana, mungkin bertandang ketempat pasangannya masing-masing. Dan tentunya hanya kamar ini yang cuma ada kebonya saja.
Amati perilaku lainnya. Saat saya merebus spaggetti untuk pertama kalinya, salah seorang dari mereka menghampiri saya di dapur. Wanita ini mengatakan, untuk mengetahui apakah spagetti itu sudah matang, cobalah lempar selembar ke tembok. Kalaulah menempel maka pertanda sudah layak makan. Saya tentu saja tertawa mendengar petuah aneh itu. Namun si cantik mencoba meyakinkan saya, diambillah sehelai, lalu dilemparkan ke tembok, menempel. Lalu diambilnya sehelai ditembok itu, seorang wanita lagi menghampiri, keduanya memasukkan sehelai spagetti itu ke mulut mereka berdua dari dua ujung yang berlainan dan menyeruputnya hingga bersentuhan bibir. Ah seharusnya aku langsung berlari meraih kamera dan mengabadikan momen yang bisa membuat cowok normal sepertiku megap-megap. Sayang saya hanya tertawa sopan dan manggut-manggut sok paham.
Makan malam. Bagi mereka makan malam haruslah yang paling mewah, dalam arti dipersiapkan dengan memasak berat. Kadang aneh bagi saya, mereka memulai aktivitas pagi dengan secangkir kopi dan kue kering atau kue manis, makan siang berupa sandwich, lalu mulailah pemandangan yang bagi saya cukup aneh. Datang terburu-buru dengan wajah lelah, memarut, memotong, atau mencincang bahan baku, prang-prang masak ribet, rebus, panggang, atau tumis, lalu siaplah sepiring makan malam yang lezat, lalu makanlah mereka, biasanya berkisar pada jam 6 hingga jam 7 malam. Dan diulang-ulang terus menerus dengan variasi menu yang berbeda tapi dengan aktivitas serupa. Dan mereka malah mengernyitkan dahi kalau saya memasak sore hari, siang, atau kadang diatas jam 8 malam, bagi mereka agak aneh. Bagi saya toh saat-saat itu dapur sedang kosong, tidak perlu berebutan ruang gerak atau kompor masak.
Ah, mungkin saya sebenarnya yang aneh. Saya kan minoritas, dari 10 penghuni, Cuma saya yang pendatang, anak baru pula. Baru sebulan hasil dipindah dari kos-kosan lama. Tapi satu hal, mereka adalah bangsa yang sangat toleran, simple, dan helpful. Saya sangat menikmati interaksi bersama mereka di common room sembari menonton televisi dalam bahasa yang kadang saya cuma bisa menerka-nerka.
Untuk housemate baru saya: wiebe, marliss, anja, wendy, janneke, daniel, benny, martin, dan sebastian. Oh ya, juga untuk para pasangan mereka masing-masing yang menambah ramenya suasana rumah ini setiap harinya.
0 komentar:
Post a Comment