Mencintai adalah mengagumi dengan hati,
Mengagumi adalah mencintai dengan pikiran
--Theophile Gautier—
Namanya Pupu. Lebih jauh, nama lengkapnya Pupu Marfu’ah. Percaya atau tidak, she gives the best influence to my self. Ini adalah ceritanya…
Kalau aku merenung di tengah keheningan malam, lantas aku teringat salah satu perintah Allah, yaitu sholat , anehnya aku teringat akan Pupu.
Tentu saja, aku sudah mengenal sholat sejak kecil, dari mulai guru ngajiku yang pertama, uztad Mian, hingga guruku yang sekarang. Namun kalau bicara soal patuh atau tidak, lantas apa sebenarnya yang mengawali kita shalat –tentunya selain takut kena marah orang tua— maka Pupu selalu ada dibenakku.
*
Masa SMU, kelas satu, enam tahun yang lalu.
Saat istirahat, aku sedang bermain corat-coret buku di pojok kelas, rasanya jemu sekali di kelas ini, maklum masih masa penataran. (kami siswa baru masih mengenakan celana pendek SMP) Mau jajan di kantin, takut kena plonco senior.
Iseng, mataku mengamati sekerumunan anak perempuan yang baru masuk. Sekumpulan berjilbab. Kalau teman-temanku mengatakan itu sepasukan ninja. Aku termasuk baru dengan pemandangan ini, karena masa SD-SMP belum ada kawan satu sekolah yang mengenakannya, termasuk kalangan keluarga.
Ada satu yang menarik diantara mereka. Wajahnya manis blasteran sunda dengan arab. Namun, bukan itu semua yang menarik perhatianku, entah apa, tapi rasanya ia punya sesuatu daya yang buat aku merasa respect dengannya.
Sang jilbab manis menghampiriku. Ia rupanya menyadari pandangan mataku yang mungkin sangat menusuk.
“Kamu nggak sholat Ashar?” itu yang terlontar dari bibirnya yang lembut.
Aku menjawab dengan enteng,”Gue cuma pake celana pendek, nih.”
Ia menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, “Nih pakai sarungku saja, ayo sebentar lagi bel masuk.”
Aku agak bingung sejenak dengan sarung yang diulurkan itu, lantas aku raih dan kubawa langkahku keluar kelas. Yah, mungkin lebih baik ke musholla, toh di sana kan gak ada senior yang mengganggu.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Pupu.
*
“Andri kamu sudah sholat?” begitu selalu pertanyaan yang diajukan gadis bernama Pupu itu setiap kali masa istirahat hampir usai. Aku menjawab, ”Sudah.” Ia pasti akan berkata, ”Alhamdulilah.” Lantas ia akan bertanya jika aku punya kesulitan dengan pelajaran Fisika. (Pupu kuat sekali di Fisika, sedang aku hanya peduli pada sejarah, dan payah sekali pada Fisika)
Suatu saat,
Rasa malas senantiasa ada. Ditambah dengan racun yang datang dari diskusi dengan kawan-kawan tongkrongan sembari merokok kala istirahat.
“Andri kamu sudah sholat?” tanya Pupu seperti biasa. Ia kaget ketika aku hanya menggeleng.
“Pu, kalau sholat sehari ada lima kali, dan setiap kali kita sholat kita dapat satu pahala, maka kita bisa aja sholat tiga kali, jadi dosa yang dua diimpasin sama yang dua. Trus kita sehari dapat pahala satu. Gitu khan?,” demikian ujarku padanya.
Mata Pupu menatap tidak suka, “Kalau sekali aja tidak sholat, itu dosanya 27 hari sampai kapan pun gak akan bisa bayar!” kata-kata itu dilontarkan dengan nada ketus, ia lantas berbalik menuju mejanya.
Aku cuma bengong dan diam seribu bahasa. Kalau bisa aku ingin langsung lari ke musholla, tapi bel masuk keburu bunyi.
Ia mencuekin aku selama sisa hari itu. Begitulah yang terjadi kalau aku malas atau lalai, mendingan jangan ketemu Pupu deh.
Tapi Pupu senantiasa tampil di keesokan harinya dengan pertanyaan yang sama.
Aku menjawab, “Sudah.”
Pupu akan gembira dan berkata, “Alhamdulilah.”
Ia lantas meminta teman sebangkunya untuk pindah. Aku diajaknya duduk disampingnya. Aku boleh menyalin peer-nya, aku boleh membaca catatan pelajaran yang dibawanya.
Tapi yang paling sering adalah ia mengajakku diskusi tentang agama, dimana aku dapat bertanya macam-macam kalau aku tidak tahu, atau aku akan pamer pengetahuanku, namun aku pasti akan kalah, makhluk yang bernama Pupu ini luar biasa dahsyat pengetahuan umumnya.
Itulah yang terjadi, bahkan saat aku dengan tiba-tiba membawa dalil boleh sholat cuma tiga kali model Syiah, beserta dalil-dalil hadits yang memperkuat dasar hukumnya. Pupu dengan sabar, dan argumentasi cerdasnya dapat meng-counterku
Dari Pupu lah aku mengetahui kalau golongan berjilbab itu bernama akhwat. Dan memandang dengan menatap lurus pada seorang wanita itu tidak boleh (he he itu yang paling susah), Pupu pula yang menberi penjelasan pada rasa keingintahuanku yang besar.
Seperti ketika aku mendengarkan pembicaraan akhwat-akhwat lain (ketika itu aku sedang ngobrol dengan Pupu) mereka tengah berbincang, ”Pinjam album Nasyid kamu dong, udah belum?”
Kalau aku bertanya pada mereka, Nasyid apaan sih? Mereka menjawab, “Nasyid ya Nasyid. Gimana ya jelasinnya.” Aku jadi tambah bingung.
Nah, dari Pupu lah aku mengenal Nasyid, sehingga aku yang gemar main band dengan musik Grunge ini, menjadi paham, juga sempat mendengarkan Snada atau Raihan. Kesimpulanku, ternyata agak mirip dengan acapella.
Dari Pupu jualah aku dikanalkan pada Pen-pal, yaitu surat-menyurat berkenalan dengan orang mancanegara (trend saat SMU kala itu) Pupu punya banyak sahabat pena dari luar negeri.
Ia mengajarkan aku tata cara menulis surat dalam bahasa Inggris. Kini aku punya dua teman dari luar negeri, Jasmine Boonkrong dari USA dan Truman Ping Or dari Hongkong.
Masa-masa itu berakhir pada saat penjurusan di kelas tiga. Pupu memilih IPA sesuai kegemarannya, sedangkan aku di IPS yang memang favorit bagi diriku yang lebih peka akan ilmu sosial.
Sapaan-sapaan Pupu selama dua tahun di SMU, sangat berkesan. Ia seakan menjadi sholat reminder bagiku. (yang kini dapat diinstal di windows atau di handphone)
*
Masa kuliah tiba.
Saat pengumuman UMPTN aku mengetahui bahwa Pupu masuk ke Universitas yang sama denganku. Ia menjadi mahasiswi fakultas MIPA, sedangkan aku di fakultas Hukum.
Dengan penuh rasa penasaran, selama setahun pertama, aku mencoba mencari tahu keberadaannya. Ada rasa kerinduan untuk dapat bertemu kembali. Ingin rasanya mengulang masa-masa dulu. Ia menjadi salah satu guru agamaku sekaligus, kawan yang kuhormati. Enak rasanya kalau saat ini dapat sesekali berdiskusi dengannya. Pupu seakan pemicu diriku untuk giat belajar agama.
Tapi, seluruh keinginan itu kandas rasanya. Pupu lenyap keberadaanya ditelan bumi. Susah sekali mencari kontak dengannya. Bahkan kawan lamaku di MIPA yang pernah bilang ia katanya benar ia masuk UMPTN di MIPA.
Kemudian ia laporan padaku, “ Waduh, Ndri kayanya gue juga ga pernah liat die tuh.”
Mungkinkah Pupu tidak mengambil jatah UMPTN-nya? Mungkinkah ia ada di salah satu universitas lain di jawa tengah?
Love will find the way.
Aku tidak percaya begitu saja dengan takdir tanpa berusaha. “Ada usaha pasati ada jalan,” begitu Pupu biasa menasehatiku, kalau aku sedang putus asa dengan kenyataan hidup.
Di kampus, dengan kepandaian desain grafis-ku, aku mejadi desainer poster, banyak sekali poster yang aku desain untuk berbagai acara fakultas, di kampus yang tak pernah sepi kegiatan ini.
Pada setiap poster yang aku desain, aku selalu menyelipkan pesan yang tidak kentara. Isinya,
‘Pupu if u read this, contact me >>Andri@yahoo.net.”
Pesan itu senantiasa tercetak dengan font tipis ukuran delapan dan diletakkan vertikal tidak kentara, kecuali orang yang menatap poster itu dengan teliti. Aku tahu Pupu adalah orang yang sangat teliti.
Dua tahun hal itu kulakukan, tapi tidak pernah ada respon. Aku masih menjalankan tradisi yang kudapat dari Pupu, aku senantiasa respect pada akhwat-akhwat, semua kuanggap sebagai perwujudan dari Pupu ku.
Kalau ada akhwat aku paling tidak berani merokok, dalam pikiranku Pupu pasti marah melihat hal ini. Kalau ada akhwat minta bantuan pasti akan kubantu dengan segenap tenaga ku. Aku selalu menjaga mata dan sikap tindak ku pada para akhwat.
Tapi dalam kenanganku tidak ada yang dapat menggantikan figur Pupu. Apalagi kalau sedang teringat akan sholat. Pasti akan kututup dengan doa, agar aku mengetahui keberadaannya. Hingga suatu saat...
Scenario will improvise
Ketika itu ada sebuah acara besar di Masjid kampus, ada bazaar, ada festival, konser nasyid, ceramah, seminar, dan pameran.
Kala itu aku sedang asyik memotret keramaian itu dengan kamera ku, ini hobi baruku di kala senggang. Ramai sekali pelataran depan masjid dengan orang-orang, termasuk anak-anak kecil. Itu adalah anak-anak dari para alumni yang datang atau mahasiswa yang telah menikah.
Penuh semangat aku memotret keriangan dunia anak-anak itu. Adegan selanjutnya ternyata mirip film Raihan…
Seorang anak kecil mungil menarik-narik celanaku, aku menoleh dan menyibakkan rambut gondrongku, dan membungkuk. Lalu menatapnya.
“Ya ada apa de’?” aku bertanya dengan ramah. Aneh wajah si mungil berbaju merah ini mengingtkanku pada seseorang, entah siapa.
“ini Oom. Dali umi,” katanya dengan cadel lantas berlari. Sepucuk kertas diserahkan padaku. Tagihan poster kah?
Aku tertegun. Sebuah perasaan yang entah bagaimana, sulit diungkapkan lantas menjalari seluruh tubuh. Kubuka lipatan surat itu perlahan. Isinya singkat.
Assalamualaikum,
Andri, aku membaca pesanmu.
Masih rajin sholat khan?
Pupu
Mataku lantas buru-buru mencari kemana larinya anak kecil berbaju merah itu. Di kejauhan aku melihat. Anak kecil itu tengah berjalan dengan kedua orang tuanya.
Sang ayah dapat kulihat dengan jelas dari kejauhan. Raut muka sang ibu tidak dapat kulihat karena berjalan membelakangi, kemudian pandangan mataku terhalang matahari sore.
Mungkinkah ia?
Aku ingin mengejar kearah sana, namun kuurungkan niatku.
Pupu, setidaknya aku mengetahui keadaanmu. Semoga kau bahagia.
Bila dua orang saling mencintai,
tidak akan ada akhir yang bahagia untuknya
--Ernest Hemingway--
Dedicated to Pupu, wherever you are.
Based on true story, as told by Andri to Wahyu.
Wahyuningrat. (penyair_damai@yahoo.com)
Mengagumi adalah mencintai dengan pikiran
--Theophile Gautier—
Namanya Pupu. Lebih jauh, nama lengkapnya Pupu Marfu’ah. Percaya atau tidak, she gives the best influence to my self. Ini adalah ceritanya…
Kalau aku merenung di tengah keheningan malam, lantas aku teringat salah satu perintah Allah, yaitu sholat , anehnya aku teringat akan Pupu.
Tentu saja, aku sudah mengenal sholat sejak kecil, dari mulai guru ngajiku yang pertama, uztad Mian, hingga guruku yang sekarang. Namun kalau bicara soal patuh atau tidak, lantas apa sebenarnya yang mengawali kita shalat –tentunya selain takut kena marah orang tua— maka Pupu selalu ada dibenakku.
*
Masa SMU, kelas satu, enam tahun yang lalu.
Saat istirahat, aku sedang bermain corat-coret buku di pojok kelas, rasanya jemu sekali di kelas ini, maklum masih masa penataran. (kami siswa baru masih mengenakan celana pendek SMP) Mau jajan di kantin, takut kena plonco senior.
Iseng, mataku mengamati sekerumunan anak perempuan yang baru masuk. Sekumpulan berjilbab. Kalau teman-temanku mengatakan itu sepasukan ninja. Aku termasuk baru dengan pemandangan ini, karena masa SD-SMP belum ada kawan satu sekolah yang mengenakannya, termasuk kalangan keluarga.
Ada satu yang menarik diantara mereka. Wajahnya manis blasteran sunda dengan arab. Namun, bukan itu semua yang menarik perhatianku, entah apa, tapi rasanya ia punya sesuatu daya yang buat aku merasa respect dengannya.
Sang jilbab manis menghampiriku. Ia rupanya menyadari pandangan mataku yang mungkin sangat menusuk.
“Kamu nggak sholat Ashar?” itu yang terlontar dari bibirnya yang lembut.
Aku menjawab dengan enteng,”Gue cuma pake celana pendek, nih.”
Ia menyodorkan bungkusan plastik yang dibawanya, “Nih pakai sarungku saja, ayo sebentar lagi bel masuk.”
Aku agak bingung sejenak dengan sarung yang diulurkan itu, lantas aku raih dan kubawa langkahku keluar kelas. Yah, mungkin lebih baik ke musholla, toh di sana kan gak ada senior yang mengganggu.
Itulah pertemuan pertamaku dengan Pupu.
*
“Andri kamu sudah sholat?” begitu selalu pertanyaan yang diajukan gadis bernama Pupu itu setiap kali masa istirahat hampir usai. Aku menjawab, ”Sudah.” Ia pasti akan berkata, ”Alhamdulilah.” Lantas ia akan bertanya jika aku punya kesulitan dengan pelajaran Fisika. (Pupu kuat sekali di Fisika, sedang aku hanya peduli pada sejarah, dan payah sekali pada Fisika)
Suatu saat,
Rasa malas senantiasa ada. Ditambah dengan racun yang datang dari diskusi dengan kawan-kawan tongkrongan sembari merokok kala istirahat.
“Andri kamu sudah sholat?” tanya Pupu seperti biasa. Ia kaget ketika aku hanya menggeleng.
“Pu, kalau sholat sehari ada lima kali, dan setiap kali kita sholat kita dapat satu pahala, maka kita bisa aja sholat tiga kali, jadi dosa yang dua diimpasin sama yang dua. Trus kita sehari dapat pahala satu. Gitu khan?,” demikian ujarku padanya.
Mata Pupu menatap tidak suka, “Kalau sekali aja tidak sholat, itu dosanya 27 hari sampai kapan pun gak akan bisa bayar!” kata-kata itu dilontarkan dengan nada ketus, ia lantas berbalik menuju mejanya.
Aku cuma bengong dan diam seribu bahasa. Kalau bisa aku ingin langsung lari ke musholla, tapi bel masuk keburu bunyi.
Ia mencuekin aku selama sisa hari itu. Begitulah yang terjadi kalau aku malas atau lalai, mendingan jangan ketemu Pupu deh.
Tapi Pupu senantiasa tampil di keesokan harinya dengan pertanyaan yang sama.
Aku menjawab, “Sudah.”
Pupu akan gembira dan berkata, “Alhamdulilah.”
Ia lantas meminta teman sebangkunya untuk pindah. Aku diajaknya duduk disampingnya. Aku boleh menyalin peer-nya, aku boleh membaca catatan pelajaran yang dibawanya.
Tapi yang paling sering adalah ia mengajakku diskusi tentang agama, dimana aku dapat bertanya macam-macam kalau aku tidak tahu, atau aku akan pamer pengetahuanku, namun aku pasti akan kalah, makhluk yang bernama Pupu ini luar biasa dahsyat pengetahuan umumnya.
Itulah yang terjadi, bahkan saat aku dengan tiba-tiba membawa dalil boleh sholat cuma tiga kali model Syiah, beserta dalil-dalil hadits yang memperkuat dasar hukumnya. Pupu dengan sabar, dan argumentasi cerdasnya dapat meng-counterku
Dari Pupu lah aku mengetahui kalau golongan berjilbab itu bernama akhwat. Dan memandang dengan menatap lurus pada seorang wanita itu tidak boleh (he he itu yang paling susah), Pupu pula yang menberi penjelasan pada rasa keingintahuanku yang besar.
Seperti ketika aku mendengarkan pembicaraan akhwat-akhwat lain (ketika itu aku sedang ngobrol dengan Pupu) mereka tengah berbincang, ”Pinjam album Nasyid kamu dong, udah belum?”
Kalau aku bertanya pada mereka, Nasyid apaan sih? Mereka menjawab, “Nasyid ya Nasyid. Gimana ya jelasinnya.” Aku jadi tambah bingung.
Nah, dari Pupu lah aku mengenal Nasyid, sehingga aku yang gemar main band dengan musik Grunge ini, menjadi paham, juga sempat mendengarkan Snada atau Raihan. Kesimpulanku, ternyata agak mirip dengan acapella.
Dari Pupu jualah aku dikanalkan pada Pen-pal, yaitu surat-menyurat berkenalan dengan orang mancanegara (trend saat SMU kala itu) Pupu punya banyak sahabat pena dari luar negeri.
Ia mengajarkan aku tata cara menulis surat dalam bahasa Inggris. Kini aku punya dua teman dari luar negeri, Jasmine Boonkrong dari USA dan Truman Ping Or dari Hongkong.
Masa-masa itu berakhir pada saat penjurusan di kelas tiga. Pupu memilih IPA sesuai kegemarannya, sedangkan aku di IPS yang memang favorit bagi diriku yang lebih peka akan ilmu sosial.
Sapaan-sapaan Pupu selama dua tahun di SMU, sangat berkesan. Ia seakan menjadi sholat reminder bagiku. (yang kini dapat diinstal di windows atau di handphone)
*
Masa kuliah tiba.
Saat pengumuman UMPTN aku mengetahui bahwa Pupu masuk ke Universitas yang sama denganku. Ia menjadi mahasiswi fakultas MIPA, sedangkan aku di fakultas Hukum.
Dengan penuh rasa penasaran, selama setahun pertama, aku mencoba mencari tahu keberadaannya. Ada rasa kerinduan untuk dapat bertemu kembali. Ingin rasanya mengulang masa-masa dulu. Ia menjadi salah satu guru agamaku sekaligus, kawan yang kuhormati. Enak rasanya kalau saat ini dapat sesekali berdiskusi dengannya. Pupu seakan pemicu diriku untuk giat belajar agama.
Tapi, seluruh keinginan itu kandas rasanya. Pupu lenyap keberadaanya ditelan bumi. Susah sekali mencari kontak dengannya. Bahkan kawan lamaku di MIPA yang pernah bilang ia katanya benar ia masuk UMPTN di MIPA.
Kemudian ia laporan padaku, “ Waduh, Ndri kayanya gue juga ga pernah liat die tuh.”
Mungkinkah Pupu tidak mengambil jatah UMPTN-nya? Mungkinkah ia ada di salah satu universitas lain di jawa tengah?
Love will find the way.
Aku tidak percaya begitu saja dengan takdir tanpa berusaha. “Ada usaha pasati ada jalan,” begitu Pupu biasa menasehatiku, kalau aku sedang putus asa dengan kenyataan hidup.
Di kampus, dengan kepandaian desain grafis-ku, aku mejadi desainer poster, banyak sekali poster yang aku desain untuk berbagai acara fakultas, di kampus yang tak pernah sepi kegiatan ini.
Pada setiap poster yang aku desain, aku selalu menyelipkan pesan yang tidak kentara. Isinya,
‘Pupu if u read this, contact me >>Andri@yahoo.net.”
Pesan itu senantiasa tercetak dengan font tipis ukuran delapan dan diletakkan vertikal tidak kentara, kecuali orang yang menatap poster itu dengan teliti. Aku tahu Pupu adalah orang yang sangat teliti.
Dua tahun hal itu kulakukan, tapi tidak pernah ada respon. Aku masih menjalankan tradisi yang kudapat dari Pupu, aku senantiasa respect pada akhwat-akhwat, semua kuanggap sebagai perwujudan dari Pupu ku.
Kalau ada akhwat aku paling tidak berani merokok, dalam pikiranku Pupu pasti marah melihat hal ini. Kalau ada akhwat minta bantuan pasti akan kubantu dengan segenap tenaga ku. Aku selalu menjaga mata dan sikap tindak ku pada para akhwat.
Tapi dalam kenanganku tidak ada yang dapat menggantikan figur Pupu. Apalagi kalau sedang teringat akan sholat. Pasti akan kututup dengan doa, agar aku mengetahui keberadaannya. Hingga suatu saat...
Scenario will improvise
Ketika itu ada sebuah acara besar di Masjid kampus, ada bazaar, ada festival, konser nasyid, ceramah, seminar, dan pameran.
Kala itu aku sedang asyik memotret keramaian itu dengan kamera ku, ini hobi baruku di kala senggang. Ramai sekali pelataran depan masjid dengan orang-orang, termasuk anak-anak kecil. Itu adalah anak-anak dari para alumni yang datang atau mahasiswa yang telah menikah.
Penuh semangat aku memotret keriangan dunia anak-anak itu. Adegan selanjutnya ternyata mirip film Raihan…
Seorang anak kecil mungil menarik-narik celanaku, aku menoleh dan menyibakkan rambut gondrongku, dan membungkuk. Lalu menatapnya.
“Ya ada apa de’?” aku bertanya dengan ramah. Aneh wajah si mungil berbaju merah ini mengingtkanku pada seseorang, entah siapa.
“ini Oom. Dali umi,” katanya dengan cadel lantas berlari. Sepucuk kertas diserahkan padaku. Tagihan poster kah?
Aku tertegun. Sebuah perasaan yang entah bagaimana, sulit diungkapkan lantas menjalari seluruh tubuh. Kubuka lipatan surat itu perlahan. Isinya singkat.
Assalamualaikum,
Andri, aku membaca pesanmu.
Masih rajin sholat khan?
Pupu
Mataku lantas buru-buru mencari kemana larinya anak kecil berbaju merah itu. Di kejauhan aku melihat. Anak kecil itu tengah berjalan dengan kedua orang tuanya.
Sang ayah dapat kulihat dengan jelas dari kejauhan. Raut muka sang ibu tidak dapat kulihat karena berjalan membelakangi, kemudian pandangan mataku terhalang matahari sore.
Mungkinkah ia?
Aku ingin mengejar kearah sana, namun kuurungkan niatku.
Pupu, setidaknya aku mengetahui keadaanmu. Semoga kau bahagia.
Bila dua orang saling mencintai,
tidak akan ada akhir yang bahagia untuknya
--Ernest Hemingway--
Dedicated to Pupu, wherever you are.
Based on true story, as told by Andri to Wahyu.
Wahyuningrat. (penyair_damai@yahoo.com)