Friday, September 16, 2005

THE WHITE SHOES

Aku tahu namanya Vony. Aku juga tahu segalanya tentang dia. Ia kuliah di FISIP jurusan komunikasi massa, semester lima. Dari segala perbincangan dengan teman-teman yang mengenal dia, pengetahuanku tentang bunga yang satu ini kian bertambah.
Kulitnya yang putih gading, tubuhnya yang proporsional, langsing, tinggi semampai, ditambah dengan matanya yang sempurna. Seakan habis rasanya ungkapan para pujangga di buku-buku sastra koleksiku, cuma untuk menggambarkan pesonanya itu.
Kini, dalam riuhnya rapat evaluasi acara seminar ini, seakan aku tidak terpengaruh oleh suasana. Semua hanya terasa bagai sayup-sayup, aku tidak dapat melepaskan pandangan mataku ini darinya. Jarak sepuluh meter yang memisahkan serasa sirna terhantam pesonanya yang melebihi kabel serat optik untuk akses internet tercepat.
Dihadapanku, ia duduk tenang sambil sesekali melayani pembicaraan disekelilingnya. Oh, kalau mengingat akan inilah hari terakhir dari rangkaian tiga hari acara seminar yang UKM kami selenggarakan, rasanya hanya penyesalan yang ada di hati ini. Yah, aku hanya sempat berbincang dua-tiga kali dengannya, itupun kurasa hanya beberapa basa-basi atau tuntutan pekerjaan, yang kurasa akan terlupakan olehnya dalam hitungan jam, walaupun bagiku merupakan saat-saat yang mengesankan.
Sebagai mahasiswa, aku tidak menyesal Mas Anto mengajakku untuk ikut kepanitiaan seminar ini. Pertemuanku dengan gadis manis yang menjadi kembang seminar ini, semakin menambah gairah kerjaku. Mungkin, Cuma masalah karunia Tuhan, hingga kami terpisahkan oleh job deskripsi yang berbeda. Aku dibagian staf perlengkapan, sedang Vony di bagian protokoler.
Di bagian perlengkapan tentu saja menyebabkan aku dan semangat mudaku ini harus rela begadang semalaman menyiapkan segala peralatan untuk acara seminar dan pameran eksebisi ini.
Menjadi bagian perlengkapan, membuat kami senantiasa berpenampilan lusuh dengan mata kurang tidur setiap hari. Sedangkan Vony dan wanita cantik lain dibagiannya, dituntut senantiasa berpenampilan rapi dan menarik setiap hari. Sekali lagi, kembang yang satu ini semakin cantik dengan rok panjang hitam yang dikenakannya. Ah, rasanya ia memang cantik dengan pakaian apa saja. Mata ini tak pernah bosan mengaguminya.
*
Suara Mas Anto, mahasiswa tingkat akhir itu, dengan dipaksakan berwibawa, akhirnya dapat juga menenangkan suara anak-anak. Lalu, seperti biasa laporan dan curhat dari tiap divisi, dilanjutkan dengan ucapan selamat dan terimakasih, kemudian maaf-maafan. Lalu Mas Anto mengumumkan acara pembubaran panitia akan dilaksanakan di salah satu restoran favorit dua hari lagi, dan memperbolehkan anak-anak bubar.
Dari obrolan singkat dengan Vony di meja penerima tamu, tadi pagi ketika jeda acara, aku tahu ia ada satu kuliah penting malam ini, dan ia berniat tidak melewatkannya dan langsung kuliah selepas ini.
Aku sudah siap di lobby depan. Setidaknya setelah menderita penat tiga hari ini, minimal aku mencoba peruntunganku mengenalnya lebih jauh lagi. Aku tak menggubris ajakan Karen, gadis Psikologi yang cukup cantik juga, tapi manjanya itu gak ketulungan. Anggun, mungkin itulah satu kata yang pantas untuk menyatakan keunggulan pesona yang dimiliki Vony.
Karen meninggalkanku dan mengajak pulang bareng cowok lain. Aku sedang tidak berminat dengan gadis itu, biar dia temanku dari SMU, kalau dekat dia kesalku memuncak. Bagaimana tidak, coklat Toblerone yang kupersiapkan untuk Vony, ketika baru ancang-ancang, eh itu cewek satu langsung menyambar dan langsung menawarkan yang lain, mana Vony nggak kebagian lagi.
Itu Vony keluar. Kumatikan rokokku, lalu bergegas menghampirinya. Kini ia tampil lebih menarik, dengan cardigan dan korduroi ketat, bagai perwujudan Penelope Cruz dalam Woman on Top dan Cameron Diaz dalam Charlie’s Angels. Belum sampai lima langkah bencana itu datang…
“Ryan, kamu nggak ada kuliah kan? Bantu kita angkat barang-barang ke sekretariat dong.” Ucapan yang disertai tepukan di bahu itu melemaskan kembali seluruh otot dibadan ini. Tak kuasa untuk menolak Mas Anto yang begitu berjasa bantuannya selama ini. Aku lantas banting setir ke kiri, berjalan mengikuti Mas Anto.
Aku masih meliriknya, hati ini tidak rela impian didepan mata pupus begitu saja. Luther King saja bilang ‘manusia harus punya impian dan mengejar impiannya’. Vony celingukan di lobby aula. Adegan seterusnya ingin rasanya dihentikan, kalau saja aku sutradara yang mengatur takdir ini.
Dari arah samping kulihat Vony menengok, rupanya yang memanggil Marco, anak sastra indo-itali itu. Sambil mengangkat sound system kulihat mereka berbincang disertai gurauan dan tawa. Sebelum hilang dari pandangan, dari sela-sela sibakan rambutku kulihat mereka berdua memasuki Audi metalik milik Marco.
*
“Mas Ryan, Mas Ryan, ada telepon!”
Suara si kecil Romin yang lantang sembari menggedor pintu, menyadarkan aku dari alam mimpi.
“OK, iya Rom, ntar Gue terima!”
Ukh, siapa sih yang menelpon pagi-pagi begini? Aku baru pulang larut malam, setelah selesai beres-beres semalam. Niatnya sih hari ini mau bangun siang, mumpung tidak ada kuliah yang penting.
“Ayoh cepetan diterima, dari cewek loh”, kata anak ibu kost itu dengan senyum bandel. Ia kemudian lari kedepan, meneruskan pekerjaanya.
Heran, jarang ada cewek telepon kesini cari aku. Siapa kiranya gerangan? Masih dengan kantuk yang amat sangat, dengan terhuyung-huyung aku beranjak jalan ke arah tempat telepon. Kulontarkan sebuah senyum terpaksa pada ibu kost yang berada di dekat meja makan tidak jauh dari situ. Sembari mengucek mataku yang belum sepenuhnya terbuka, kusambar gagang teelepon itu.
“Yap, halo.”
“Ryan? Sori ngebangunin pagi-pagi, ini Vony.”
Sekejap itu pula seluruh rasa kantuk luluh, berganti segar bugar ala iklan Kratingdaeng. Lantas dengan suara ditingkahi dehem-dehem tidak jelas, kebiasaanku yang timbul kalau hendak menimbulkan kesan impresif di telepon, aku menjawab sapaan awal bidadariku itu.
“Oh, iya Vony. Ada apa ya? Gimana semalem sampai rumah jam berapa? Ada yang nganter?” Aku lantas nyerocos bertanya.
“Eng iya. Tadi malam biasa sampai rumah jam setengah sepuluh, khan Vony kuliah dulu.” Aduh suaranya betul-betul merdu sekali, kalah deh semua premium call yang sering dicoba anak jomblo kost-kost-an sini.
“Nggak dianter Marco semalem?” Aku masih ingin menyelidiki.
“Nggak tuh. Vony khan Cuma numpang sampai kampus aja, biar nggak ketinggalan kelas tambahan aja,” Ih lega deh hati ini.
“Ehm, anu Ryan. Vony mau minta tolong nih. Boleh?” apapun akan kulakukan. Seperti kata Chrisye, walau keujung dunia pasti akan kudaki.
“Oh boleh apaan tuh Von, ntar Gue bantuin deh.”
“Gini, khan tadi malam Vony balik keburu-buru. Ada yang ketinggalan. Ryan kan Perlengkapan, pasti pulang terakhir, tadi malam lihat ada barang Vony yang ketinggalan nggak?”
“Tadi malam yang tugas sweeping terakhir sih emang Gue ama anak-anak, tapi paling nemu jaket kuning ama kaos oblong, itu juga udah dibalikin. Memang apa sih yang ketinggalan?”
“Itu lho Ryan, sepatu Gue. Gue kan ganti sepatu dengan yang kets buat kuliah biar santai. Eh yang itu ketinggalan.” Sepatu? Wow.
“Sepatunya kayak gimana, Von?,” pertanyaan ini dibarengi khayalanku yang melambung.
“Sepatunya hak tinggi, warnanya putih. Kemarin Vony pakai buat protokoler, terus kayaknya ketinggalan di bawah bangku deh.”
Kata-kata terakhir ini membawaku langsung ke alam masa kecilku. Aku teringat akan kehebatan dongeng klasik yang sering diceritakan Ibu menjelang tidur. Bukankah ada seorang Putri yang kehilangan sepatu kacanya? Dan bukankah seorang Pangeranlah yang menemukannya?
“Yah, gimana dong Ryan? Kayanya hilang yah? Tadi malam gak ada? Aduh gimana ya?” tak sengaja gagang telepon di kupingku kudiamkan beberapa saat.
Saatnya untuk kalimat sakti diucapkan, “Von, nanti Gue cariin deh. Abis kuliah siang ini, Gue kesana.”
“Benar? Nggak ngerepotin kan?”
“Iya, tapi situasi ini kan seperti di dongeng Cinderella, iya kan? Nah kayanya kamu perlu bikin semacam reward. Kaya gini misalnya, barang siapa yang mengembalikannya akan diangkat jadi apa gitu…”, tiba-tiba ide gilaku kumat, semuanya terlontar spontan.
God work in mysterious way. Anehnya Vony menanggapi kalimat usil tadi, “Aduh gimana ya? Beres deh nanti Vony bikin statement gitu deh di rumah.”
“Aduh, beneran nih? jadi semangat nih,” intonasi suara kutahan sedatar mungkin, tapi rasanya lonjakan hati sudah meletup tak terkira.
“Udah dulu ya Ryan. Kalau ada kabar, langsung telepon aja. Makasih sebelumnya, bye.”
Telepon kututup. Suara merdu tadi masih terngiang-ngiang. Kepalaku sibuk mereka-reka semua perkataan barusan. Rasanya banyak sekali film romantis Hollywood yang sudah kutonton, dari semua itu telah tersusun puluhan skenario mendapatkan gadis pujaan dalam benakku.
Semula aku mengharapkan kisah cintaku akan disejajarkan dengan Meg Ryan dalam ‘You’ve Got mail’, Mel Gibson dalam ‘What Woman Want’, ataupun “Someone like You’ dan ‘Wedding Planner’.
Aku tidak mengira semua skenario Hollywood itu tewas dihadapanku. Kini kisah cintaku akan disetarakan dengan kisah cinta yang tergolong ‘the greatest love story ever made’, seperti Samson & Delilah, dan Romeo & Juliet.
Putri Sepatu Kaca. Ya, Cinderella gubahan Walt Disney itu. Alam bawah sadarku terbawa menuju indahnya kehidupan masa kecil. Zaman rental video Betamax masih menjamur. Cukup dengan patungan uang jajan bersama teman-teman, kami gemar menonton film kartun.
Aku mencoba mengingat-ingat jalan ceritanya, hmmm…sang putri harus keburu pulang karena batas waktu tengah malam kalau tidak ia jadi Upik Abu lagi (sesaat disini aku tercenung, Vony terburu-buru karena kuliah tambahan, kalau lewat, ya nggak berubah).
Lalu, sang pangeran datang menghantarkan sepatunya yang tertinggal. Dan diboyongnya sang Upik Abu ke istananya (aku tambah bingung, aku bukan pangeran malah dialah sang putri. Dan dialah yang meminta dicarikan sepatunya).
Aku lantas sadar. Laksana pikiran seorang peneliti folk tales, ala Prof. Danandjaya yang terkenal itu, aku membongkar ingatanku akan sebuah dongeng lagi yang punya korelasi.
Akhirnya aku teringat. Ada kombinasi dongeng jawa disana. Ya, benakku terantuk pada dongeng ‘Joko Tingkir’. Ya disana diceritakan adanya unsur ‘woro-woro’ pengumuman ‘barang siapa…maka akan dapat…’ dan di dongeng itu sang Joko Tingkir mengalahkan Kerbau Gila sebagai syarat mendapatkan sang putri.
Setelah menyimpulkan hipotesa akhir itu, aku dapat mandi dengan tenang untuk memikirkan langkah selanjutnya, dalam proyek masa depan yang kunamakan “operation target: the white shoes” dibawah guyuran air yang dingin.
*

Seraya menikmati sarapan yang disediakan ibu Kost, kuletakkan Koran pagi disampingku. Mataku rasanya terantuk dengan buku sejarah SD milik si Romin, anak ibu kost.
Disana disebutkan mengenai Joko Tingkir, yang baru tadi ada dibenakku. Aku jadi ingat pelajaran sejarah SD. Joko Tingkir is real. Ia adalah julukan dari Raden Mas Karebet, yang nantinya bergelar Sultan Hadiwijaya ketika memerintah.
Hmmm, rasanya juga ada penelitian yang kubaca di internet, kalau Cinderella juga bukanlah fiksi, tapi pernah terjadi. Toh, Walt Disney Cuma mengadopsinya menjadi film kartun, penulis aslinya sudah cukup lama membuatnya, entah siapa lupa…
Mungkinkah ini pertanda angan-anganku akan menjadi kenyataan? Yang jelas aku jadi bersemangat menghabiskan sarapanku.
*
Aku cabut kuliah siang. Setelah susah konsentrasi saat kuliah pagi (tadinya tidak mau datang, namun teringat tugas yan harus dikumpulkan kalau mau lulus). Anganku dipenuhi adegan romantis saat aku menyerahkan sepatu itu pada si Vony sayang.
Oho, a simple task with a honorable price. Dengan mempertimbangkan unsur kalau kesiangan maka akan keburu dipindahkan oleh satpam, dan kondisi tubuhku yang kalau terlalu lama memendam maka akan terbang, maka aku bergegas pergi ke lokasi Seminar.
Duh, Bus Kuning tidak ada yang lewat. Kuputuskan untuk berjalan saja. Walau perjalanan cukup jauh bila ditempuh kaki ini, namun peluh kurasa setimpal sekali dengan reward yang akan kudapat. Vony, wajahmu seolah muncul dalam wide screen dimataku.
Sebuah mobil sedan lewat berpapasan dengan aku, yang sudah hampir sampai dilokasi seminar. Itu Audi metalik dengan Marco didalamnya. Dia mengklakson dan menyapa dengan mengangkat sebelah tangan. Aku tersenyum dan membalas dengan lambaian tangan. Lalu aku meneruskan langkahku. Sorry man, I’ve got her first.
*
Tangga terakhir Auditorium ruang seminar, akhirnya sampai di langkah kakiku. Seorang satpam gemuk berkumis tebal, yang kutahu bernama Sapto, menghampiriku laksana panitia penyambut.
“Dik Ryan, ada apa? Mau booking tempat ini buat seminar lagi ya?”, setiap kali satpam Sapto berkata kumis tebalnya senantiasa bergerak-gerak.
“Ah Pak Sapto, nggak pak ini ada barang yang ketinggalan di kamar ganti, saya mau ngambil.” Aku lantas melangkah masuk, namun si Sapto menghalangiku.
“Lho dik, Saya baru periksa kamar ganti. Semuanya sampai bawah-bawahnya. Kayanya sudah tidak ada barang lagi deh.”
“Ya sudah biar saya yang mencari lagi soalnya barang itu penting Pak.” Mungkin Sapto menghalangiku karena takut mengotori ruangan yang sudah dibersihkan. Aku tetap bersikeras. Masa depan, coy.
“Memangnya barang apa sih, dik?” Sapto bertanya. Duh ini Satpam mau tahu aja.
“Sepatu pak, sepatu cewek punya teman saya. Warnanya putih.”
“Oh sepatu cewek. Tadi bukannya sudah diambilin sama temannya.” Ucapan Sapto yang terakhir ini membuat jantungku bergetar.
“Kenapa pak? Bagaimana pak? Siapa yang ngambil?”, aku agak panik sedikit.
“Aduh dik. Yang tugas waktu ada yang ngambil tadi pak Usman. Dia udah pulang. Cuma dia bilang tadi ada mahasiswa yang ngambil barang yang ketinggalan tadi malam, terus sama dia dipersilakan masuk. Dan keluar bawa bungkusan plastik yang kelihatannya isinya sepatu cewek.” Tutur pak Sapto.
“Orangnya pakai mobil?”, aku bertanya dengan nada pasrah.
“Wah, tidak tahu saya dik.”
“Ya sudah pak, makasih ya. Saya pergi dulu.” Aku meninggalkan Sapto dengan langkah lunglai. Kurasa Sapto pasti bengong melihat perubahan semangat empat lima tadi menjadi lesu lemah ala iklan obat.
Aku bertanya pada diriku. Marco kah yang lebih dulu mengambil sepatu itu? Apakah Tuhan akan membiarkan the bad guy menang? Kenapa cerita ini tidak berakhir dengan happy ending ala film Hollywood?
*
Langkah kaki yang kubiarkan berjalan dengan mode automatic pilot membawaku ke sekretariat UKM kami. Tempat itu memang tidak jauh jika ditempuh berjalan kaki dari tempat seminar.
Aku langsung menghempaskan badanku di bangku kantin. Mungkin segelas jus segar dapat membantu kegalauanku. Sebatang rokok langsung kusulut dibibirku.
Kulihat dari kejauhan Marco memarkir mobilnya. Here come the lucky winner. Aku memandang sinis dari kejauhan.
Ia berlalu dihadapanku. Menegur ramah, yang olehku diartikan basa-basi busuk. Memang orang yang kalah tidak pernah lapang dadanya. Kini aku merasakan apa yang diderita para tokoh antagonis film Hollywood. Darth Vader, Lex Luthor pasti merasakannya. But, Hei I’m not the bad guy!
Setelah memesan minuman yang sama denganku (memang itu menjadi favorit), Marco angkat bicara,
“Bagaimana semalam Ryan. Pulang jam berapa?”
“Jam sebelas sampai kost. Lo sendiri bagaimana? Asyik dong sama Vony.” Aku mencoba bernada biasa, namun susah menutupinya dalam bertutur kata.
“Ah, apa asyiknya. Gue sama dia kan udah temenan dari SD. Sekolah dasar sampai kuliah bareng melulu. Sudah kaya’ saudara.”
Mendengar ucapannya yang terakhir aku tercenung. Apa gerangan maksudnya?
Keheningan pecah oleh bunyi dering handphone Marco yang melantunkan ‘10 out of 10’-nya Louchie Lou. Marco mengangkatnya.
“Halo…Oh ya…Oh kebeneran. Ini anaknya ada di depan Gue, ngomong langsung aja deh.”
Marco lantas menyongsongkan Siemens M35-nya ke tanganku. Aku kebingungan. Ucapan berikutnya dari Marco membuatku lebih nervous.
“Dari Vony. Lo dicariin tuh.“ katanya dengan senyum nyengir. Kuterima handphone-nya. Marco lantas asyik kembali dengan jus-nya.
“Ha..Halo? ini Ryan.”
“Halo Ryan, ini Vony,” suara merdu di ujung sana tidak berubah. Menghanyutkan seperti tadi pagi. Seraya memberi secercah harapan.
“Ya Vony.”
“Aduh gini Ryan. Sepatunya sudah ketemu.”
Lututku lemas mendengar ucapan tersebut,”Oh, sudah ketemu.”
“Iya, Ryan coba tebak siapa yang mengantarkan sepatu itu kemari.” Suaranya tambah riang. Aku jadi tambah bingung, yang jelas bukan Marco soalnya dia tidak cerita.
“Si..siapa yah?”
“Kak Anto. Katanya tadi pagi ia balik ke ruang seminar untuk mengecek. Eh ketemu sepatu Gue di sana.”
Aku tidak dapat berkata-kata mendengar nama Mas Anto diucapkan vony dengan nada riang.
“Trus, dia anterin deh ke sini, setelah nanya sama Karen ini sepatu siapa.”
“Eh Ryan. Waktu dia datang itu pas banget gue bikin statement seperti yang elo saranin.”
“I..iya?” lidahku terasa kelu.
“Tahu nggak. Gue udah lama suka sama Kak Anto. Gue make a wish begini, ‘kalo ada yang ngembaliin sepatu putih Gue. Kalo cewek Gue angkat saudara, kalo cowok Gue angkat jadi pacar kalo dia mau’. Pas seperti di film. Eh gak tahunya berhasil, dan kok jadi seperti film sih.”
Aku masih diam seperti orang bodoh. Mencoba mereka-reka, adakah film Hollywood yang dibuat dengan skenario seperti ini?
“Eh sudah dulu ya Ryan. Kak Anto masih di teras. Kalo gak ada kamu, mungkin semua ini tidak akan terwujud. Makasih banyak yah. Thanks. Bye.”
“Bye,” kututup telepon itu dan kukembalikan pada Marco dengan mata menunduk. Untungnya Marco tidak menyadari, ia menerima dengan acuh tak acuh. Ia masih asyik dengan majalah di depannya.
Pertanyaannya adalah; kenapa Mas Anto? Mungkinkah ending ini akan membuatku tidak terlalu meratapinya, karena Mas Anto terlihat lebih sempurna dihadapanku? Tidak, aku tetap meratapi (walau tidak mengutuk Mas Anto, karena ia adalah tutorku).
Mataku menerawang. Untuk kemudian terantuk pada secarik kertas di pojok kantin. Sebuah coretan mahasiswa yang sering begadang dan menganggap diri mereka seniman besar setara Gibran.
Isi tulisan pada kertas itu:
Ternyata…
Ada tangan cekatan yang lebih dulu memetik,
Ketika kusadari betapa indahnya dirimu…

Sebuah syair patah hati yang picisan. Dikala kondisiku normal mungkin akan kuacuhkan, atau kuremehkan. Namun, dalam kondisi pencarian makna ending ini, kok rasanya klop sekali.
Kedua bola mataku mencoba melarikan diri dari tulisan itu. Mereka berhenti di sebuah poster di tembok. Tulisan poster itu hasil tulisan Jaka, seorang copywriter garing. Penuh kata-kata yang garing. Ia selalu kucela, karena tidak berbakat tapi selalu ngotot.
Namun entah kenapa, kini aku memperhatikannya dengan penuh makna. Judul poster itu:
Anda ketinggalan kereta?
Masih ada becak yang bakal mangkal.

Keningku mengernyit. Mungkinkah ada becak yang akan menemani perjalananku, menggantikan Ekspress Argo Bromo yang tiketnya sudah dibeli orang?
Terdengar olehku suara manja cewek yang tidak asing lagi, disertai sebuah tepukan di bahuku.
“Ryan, kamu kan nggak sibuk sore ini? Temenin Gue ke blok M yach?”
Aku mendongak ke arah suara tersebut. Ah, Karen. Mungkinkah kamu sang becak itu?

0 komentar: