Thursday, April 26, 2007

Orang katro ke pengadilan

Hai! Kali ini saya akan mengajak Anda ke pengadilan. Yup, dan bukan hanya sebuah, tapi dua buah gedung pengadilan. Saya akan berbagi sedikit pengalaman memasuki kedua gedung ini. Mungkin bisa menjadi sedikit komparasi, dengan apa yang pernah saya atau Anda, rasakan saat memasuki gedung dengan fungsi serupa di tanah air.

ICC atau pengadilan kriminal internasional. Wuih serem jek. Saya mendiskusikan sedikit tentang pengadilan bergengsi ini sejenak sebelum kereta menuju Den Haag datang. Pengadilan ini memang bukan untuk mengadili kelas pembunuh berdarah dingin, apalagi maling sandal. Fasilitasnya juga berbeda jauh, sehingga bisa menimbulkan kecemburuan. Yah kan kata orang bijak, kalau kamu membunuh satu orang kamu pembunuh, tapi kalau kamu membunuh ratusan bahkan ribuan orang, maka kamu jadi seleb. Hehehe. Eh ini serius lho, lihat Struett, 2004: 318.

Karena saya sedang membuat paper tentang pengadilan ini untuk sebuah mata kuliah, maka tiada alasan untuk mengunjungi demi menambah kredibilitas, ketimbang hanya tahu dari website atau buku belaka. Pas sekali dengan ajakan dari sebuah ekskul anak-anak hukum lokal utrecht.

Singkat cerita setelah ngoceh kiri kanan dengan cewek asal Houston disebelah, sampailah saya di depan gedung indah dimana ICC yang tersohor itu berlokasi. Jreng. Unik sekali gedung ini. Arsitekturnya kelewat futuristik. Oho, ternyata gedung pengadilan tingkat dunia ini dulunya bekas gedung parkir KPN, sebuah perusahaan telekomunikasi Belanda. Dengan deg-deg an saya memasuki pintu pengadilan.

Tarik nafas sejenak.

A small step for common people like me, a giant step for a man kind.

Gile tiga kali saya membuat metal detector menyalak titat titut. Bolak-balik, padahal saya sudah preteli semua aksesoris saya, apakah gerangan? Ternyata saya saat itu memakai sepatu kulit dengan ujung depan yang mengandung logam. Maklumlah saya agak sedikit kesulitan berkomunikasi dengan petugas sekuriti. Sedikit kritik. Bahasa resmi di pengadilan ini adalah Perancis dan Inggris. Namun petugas sekuriti memilih bahasa sendiri, bahasa belanda. Mungkin karena belum memasuki area internasional. Kalo sukses lolos pos ini, baru memasuki dunia tanpa bahasa londo.

Dan arrgh satu lagi yang menyebalkan. No camera inside. Ini sangat menyebalkan untuk turis norak seperti saya. Tapi yah ini kan upaya untuk menunjukkan kewibawaan institusi hukum paling bergengsi. Kemudian kami dibawa oleh petugas media relation, yang wajahnya mengingatkan saya akan Lucky Mirza Ericsson, ke kursi pengunjung sidang. Ruang sidang terlihat dari lapisan kaca anti peluru di hadapan kita. Kalau persoalan yang dibahas di dalam agak sensitif, makan layar akan turun sehingga kita tidak bisa melihat apa-apa, lalu audio juga bisa tiba-tiba silence jika perbincangan dianggap sensitif oleh bapak hakim yang mulia.

Ruang sidang mirip seperti di ICTY, lapisan-lapisan kayu mendominasi. Lalu deretan meja-meja. Dihadapan kita ada meja paling besar berpodium untuk para hakim. Dibawah mereka ada para panitera. Disebelah kanan belakang ada ruang khusus berkaca untuk para terdakwa, dihadapannya meja-meja penasehat hukum. Disebelah kiri berlokasi meja pihak penuntut umum. Di jejeran belakang perwakilan negara asal terdakwa dan negara korban. Lalu meja para penerjemah. Dan sebagaimana layaknya sidang tingkat internasional, monitor flat screen memenuhi semua meja. Konon semua sirkulasi dokumen, barang bukti, hingga kesaksian via teleconference dilakukan melalui layar-layar itu. Mirip warnet di bilangan benhil lah kira-kira.

Acara selanjutnya lebih diisi oleh presentasi dan pengenalan, sesi pertama dipandu oleh staf asisten salah satu hakim asal Jerman, dan sesi selanjutnya yang lebih seru dipandu seorang penyidik muda asal Canada dari kantor Prosecutor.

Mau ngomong fasilitas? Ini pengadilan punya mobil satelit sendiri buat teleconference dengan key witness yang sangat berbahaya kalau keberadaannya ketahuan. Interiornya nggak usah tanya keren banget, dimana-mana lantai kayu. Baunya mirip kayu jati asal Randublatung, Jateng. Enak banget itu diktator-diktator junta militer, penjaranya aja di Swiss, konon karena harus comply kudu sangat-sangat tidak boleh melanggar human rights, makanya fasilitasnya sekelas hotel. Bisa dikunjungin, bisa masak segala dan bahkan rekreasi.

Ok kita tinggalkan gedung tersohor itu. Karena saya tidak sukses foto session di dalamnya. Kini kite beralih ke pengadilan lokal. Utrecht district court, atau Gerechtsgebouw dalam dialek lokal, dan (sok) akrab dipanggil dengan Pengadilan Negeri Utrecht. Satu kelas dengan PN Jakarta Pusat. Kita akan lihat lebih dekat apakah berlaku sebaliknya, PN Jakpus sekelas dengannya?

Kali ini rombongan dipimpin oleh mpok Alexandra asal Swedia. Kita berlima, seorang cewek asal Houston yang juga ikut ke ICC, sohib gue si hidung bangir Sofka asal Macedonia, Jack si kalem asal British, dan tentu saja seorang ganteng asal Indonesia.

Rombongan memasuki gedung yang merupakan kombinasi arsitektur kuno yang dipertahankan, dipadu dengan arsitektur modern kontemporer ala kaca-kaca. Pemeriksaan metal detektor, kali ini saya lolos. Namun tetep aja terganjal di mesin scan barang bawaan ala pesawat. Kali ini karena pompa sepeda portable yang saya bawa di tas dikira senapan Uzi.

Oh ya, sesuai tradisi, setiap satu hari sesudah easter, semua district court membuka pintu mereka untuk kunjungan mahasiswa. Makanya acara ini sangat spesial untuk dilewatkan. Karena banyak kejutan menanti kita semua.

Pemandu kami datang, sangat ramah. Seorang ibu-ibu yang mengingatkan saya akan Ibu ketua PKK di RW saya, dan membuat kita semua kaget karena dia adalah sang ibu hakim. Si Jack tidak menyangka, kalau yang menemani kita keliling-keliling mengenalkan segala atribut pengadilan dan kru pendukungnya itu, sekelas hakim.

Setelah ngupi-ngupi dijamu si ibu hakim, dan ngobrol ngalor-ngidul membicarakan sistem perekrutan dan tatacara pernik-pernik lainnya. Tibalah sesi kedua, kali ini kita dipandu oleh seorang ibu yang terlihat lebih senior. Figur yang terbayang tentu saja si iron lady Harkristuti Harkrisnowo. Gile tipikalnye sama persis. Kita diajak naek ke balkon menonton sidang perkara perdana. Si ibu ini sangat berwibawa karena dialah ketua pengadilan itu, tapi beliau ramah abis. (si jack makin blingsatan) Dari balkon, semua yang terjadi di bawah diterjemahkannnya ke bahasa inggris. Sesi pagi ini adalah preliminary hearing.

Suasana dan fasilitas gedung sangat memukau, kita diperlihatkan ruang tunggu pengacara, ruang tunggu terdakwa yang dijaga polisi berpostur Swachgenezer, hingga library pengadilan, yang sungguh berbeda dengan ruangan dengan fungsi serupa di loteng PN Jaksel yang lebih mirip gudang kelurahan. Ruang tunggu terdakwa sangat terlalu manusiawi dibanding di Jakarta, seperti ruang tunggu hotel, cuma pake penjaga bersenjata yang, nggak sangar seh, tapi kaku.

Karena di kunjungan sebelumnya saya dibilang akan contempt of cout kalau jepret foto, dan takut dipenjara, hehe. Kali ini saya agak takut memfoto, namun saya beranikan diri ijin ke Ibu ketua PN, eh ternyata diijinkan, setelah dia menginstruksi lewat ketokan dibalik kaca ke ]pimpinan sidang, saya akhirnya menjepret sekali. Tadinya mau dapat momen bagus, cuma takut tersinggung jadinya kelewat deh. Momen saat terjadi adu argumen dan sang pengacara menenteng buku bertitle burgerlijk wetboek heheheh.

Pengadilan ini enak, sebesar gedung Mahkamah Konstitusi kita, dengan 40 hakim dan 400 officer pendukung. Belum termasuk aparat kepolisian dan petugas kantin. Diluarnya terdapat 3 monumen seni dari seniman terkemuka belanda. Jika diperhatikan dengan jeli, semua ruang sidang akan terdapat lukisan potret Ratu Beatrix tapi dengan gaya Picasso, matching sama desain interiornya. Asyik yah, kan seru kalo foto presiden kite di ruang sidang juga dibuat agak nyeni juga.

Ok deh, sekian dulu kunjungan kali ini. Kita bertemu kembali dalam kunjungan-kunjungan lainnya.


Saturday, April 21, 2007

oh kampung halaman oh oh oh

Jika teringat kampung halaman, apa sepuluh hal yang kamu rindukan saat ini?

Sop kaki kambing tiga saudara
Terbayang dimata kenikmatan kuahnya yang gurih, terus pakai emping, didalamnya ada potongan kaki, lidah, kuping, ati, babat, tulang muda, dan tentu saja otak.

Hunting DVD bajakan
Usai gajian, biasanya ke ITC Ambassador, toko favorit yang kadang koleksinya dianggap paling lengkap terletak di lantai 4, di tikungan arah jembatan penghubung ke mall. Terus menyusuri hingga ke lantai bawah yang ramai. Pokoknya penat hilang, kalau abis ngeborong DVD gocengan. Entah mau ditontonnya kapan. Kadang huntingnya lebih seru daripada nontonnya.

Majalah; terutama Tempo, Majalah Concept, Tabloid Kontan, dan ADOI magazine.
Gile kangen berat pengen megang dan membaca semuanya, apalagi Concept kan nggak online, udah ketinggalan berapa edisi neh.

Sarapan khas: kue cucur, ketan urap, nasi uduk bungkus daun, ketoprak, bubur ayam, dan tentu saja lontong sayur.
Duh duh duh, hmmm. Yup. Rasanya yang nggak plain tapi bercitarasa khas. Authentic. Apalagi kalau menikmatinya dengan udara pinggir jalan, dengan dentingan bunyi mereka menyiapkan itu semua.

Starmild
Nggak seh, kadang ada juga yang baek membawakan. Jadi masih suka terusir kerinduan akan yang satu ini. Ini rindu atau candu?

Sholat Jumat di masjid Nurul Islam pondok kopi.
Hehehe jumatan di mesjid turki masih kurang asyik. Nggak nyaman, nggak bisa teriak ‘amien’ yang kenceng, nggak bisa tahiyat miring, terus masuk mesjidnya musti pake kaus kaki ah males banget, dan yang utama nggak ngerti khotbah bahasa turki, tapi suratnya pendek-pendek banget hehehe dan kadang pas keluar dibagikan kue :)

tambahan: kalau telat datang harus ikut kloter kedua atau sholat dekat rak sepatu, kangen banget bisa nunggu berdiri dibawah pohon, atau gelar sejadah di pinggiran luar mesjid.

Fitness keringetan.
Disini susah bener cari keringat kalau olahraga, itu membuat saya sudah 3 bulan malas ke gym *selain alasan kemalasan lain*, keringatan sekalinya banyak eh keringnya cepet bener. Udah gitu alatnya terlalu modern, gue terus terang kangen sama bench press manual yang bar-nya bisa kita pegang sembari dibantu teman.

Ikan khas.
Kok ya gue pengen banget makan pecel ikan gabus dan pecel lele. Ini dua jenis ikan yang khas bener. Terbayang dimata kenikmatan dan kelembutan dagingnya.

21cineplex
Gile kangennya nonton bioskop yang gede dengan soundsystem beneran, dan terutama tidak dipotong ditengah-tengah film dengan alasan break ngopi.

Tempe Mendoan.
Hmmm, kerinduan hati tiada terkira. Sukar melukiskan kenikmatan protein nabati yang satu ini. combro dan gorengan lainnya masih bisa dikreasi, kalo yang ini wah wah wah.

Thursday, April 19, 2007

Sebuah telepon dari sahabat


Jarum jam menunjukkan pukul 20.30 waktu setempat. Saat dimana HP gue bergetar. Kala itu gue sudah hampir terkubur dalam timbunan buku-buku dan kertas-kertas print jurnal di salah satu pojokan perpus Uithof. Gue mengangkat telepon. Menjawab dengan intonasi sangat pelan, supaya tetap dianggap manusia beradab di area super intelek ini.

Di ujung sana rupanya sohib kental gue satu kantor menelepon. Ia mengabarkan langsung akan kondisinya pada sapaan perdana.

“Yu, gue baru putus ama cewek gue.”

Walah. Gue langsung melipir ke arah luar, menjauhi meja-meja nuansa ilmiah dan manusia-manusianya. Nah, kini sudah di posisi leluasa untuk menambah volume suara. Posisi nangkring di tangga.

“Kenapa men?”

Langsung deh setelah gue bertanya lebih lanjut, keluar sudah uneg-uneg nya. Gile hampir aja mau merit.

Oh iya, sebelum gue bercerita lebih lanjut, gue akan beberkan sedikit informasi tentang sohib kental gue ini.

Perjumpaan pertama kita dimulai pada hari ketiga gue masuk kantor, dan ternyata satu mobil di jalur hantaran pulang karyawan tengah malam. Sejak itu, berawal dari letak geografis yang sama, kite menjadi akrab.

Gue inget kita selalu memperbincangkan impian-impian kita, segala keluh kesah gulana, dan segala kebobrokan dunia persilatan profesi kita, di warung depan parkiran gedung baru.

Satu hal yang menarik dari kawan gue ini, die merangkak untuk kejayaannya ini dari dulu. Orangnya gigih. Meski pendidikannya belum S1 (sekarang sedang) die selalu mau belajar. Masih segar dalam ingatan gue, die memulai dari berita-berita yang menurut die bukan berita, lalu ke job desk yang die tidak sukai, tapi setiap kesempatan die selalu libas. Kadang berakhir kenikmatan, kadang berujung kegundahan. Dan dia selalu berbagi dengan saya.

Sukses akan datang dengan sendirinya kalau kamu tekun. Itu pepatah bijak yang mungkin berlaku bagi sobat ini. setelah 3 tahun mengabdi, die mendapat kesempatan emas. Dan mulai dari yang simpel-simpel, lagi-lagi dia beruntung mendapat kesempatan tampil. Kali ini bukan lagi di belakang, tapi di depan TV. Berawal dari taping berulang-ulang hingga live.

*

Suatu pagi di gym, saat die membantu saya berlatih beban bench press 25 KG *cieh*, ditengah napas yang memburu, die berkata,

“Gimana menurut lo semalem penampilan gue men? Masih ancur ye”

Hmmm gue manggut-manggut. Keberatan maksudnya, soalnya kite suka sok gaya biar dadanya cepet bidang. Ampe kadang diperingatin instrukturnya, latihan jarang nongol, nutrisi nggak pernah dijaga, dsb. Alasan kita tetep sama, kite kan pekerja malam hari bos, under pressure lagi, wuah stress deh. Begaya serasa sok orang penting di muka bumi ini, kesannya kalo nggak ada kita nggak ada yang tau dunia mau kemana. Wuih. Padahal.

Terus gue ceritain aja kalo live die semalem udah direkam, terus gue liat rame-rame sama tim supporter pendukung die. Ketawa ngakak, biasa deh kan paling lucu kalo ngeliat orang live perdana. Heheh. Biasa lah tim sirik. Gue juga dulu sempat nyoba pas taping, 3 kali percobaan dan semuanya dengan penuh kesadaran pribadi hanya menjadi tumpukan kaset di laci pribadi di meja kantor. Iya lah. Kan nggak semua musti jadi striker mencetak gol, kan musti ada yang jadi poros halang. Bahkan perlu juga ada anak gawang pemungut bola. Atau tukang sobek karcis. Semuanya kan untuk tujuan akhir penonton yang puas.

Hingga akhirnya dia sudah gape ber-live report ria dan makin lama makin dapat berita bergengsi. Hingga breaking news sudah kerap kali dihiasi wajah die dari lapangan. Udah sempat bisa ikut rombongan orang nomor satu di negeri ini. Dan bisa bareng dengan sang legenda idola die, Miko Toro SCTV. Hehehe. Kalau saya punya ambisi mengalahkan tim kupas tuntas, sempat seh sekali dua kali, die punya ambisi melebihi Miko Toro.

Die bilang pengen ke Aceh, die kejar terus, akhirnya dapat kesempatan. Dan menyusul deh ke daerah konflik lainnya. Semua impian dia satu demi satu tercapai. Die masih ingin lebih. Sempat dia melamar jadi presenter. Heheheh. Sempet audisi dan dilatih pak Popeye. Wah sayang sekali belum berhasil, agak susah soale, mungkin dia belum memiliki wajah yang bisa saingan dengan Tommy Tjokro atau Alvin Adam.

Paling-paling sembari mengunyah bakwan unlimited dan ice tea no sugar di warung ibu gendut, gue mengingatkan die bahwa die sudah mencapai banyak hal. Itu kalau ia sedang kecewa atau stress.

“Pembokat di rumah orang tua gue aja tau kalo lo lagi tampil di TV, die sering bilang, itu kan yang sering dulu kesini kan”

Atau,

“Kalo sering nonton TV kita, orang pasti tau elo deh, gile pasti fans lo banyak men. Pasti kalo ke mall banyak yang neriakin nama lo, cieh”

Dan die pasti tersipu-sipu malu.

Die orangnya mau belajar. Gue inget dulu waktu baru di reguler, die suka menelepon gue yang nggak di reguler,

“Yu, kalo gue mo ketemu si anu untuk masalah anu perkembangannya kan anu-anu yah? Udah sampai mana seh? Terus gue nanya apa yang biar update?

“Koorlip lagi-lagi suka nggak jelas neh, ada kontak si Mr anu? Staf ahli si menteri anu berapa yah HP nya? Cara mudah mengontak bos anu lewat siapa yah buat bikin janji?”

“Menurut informan lo siapa enaknya yang mesti gue samperin men? Si anu enaknya gue cegat dimane?”

Yup, die orangnya juga kritis dan cepat tanggap belajarnya, mungkin sebulan dua bulan pertama gue dengan senang hati digangguin, abis itu die udah gape sendiri. Dulu masih nanya enaknya baca majalah apa atau buka situs apa buat update. Tapi kini die udah bisa membina source sendiri.

Dulu suaranya nggak enak bener didenger kalo dubbing, kini sudah ciamik. Udah gaya die, udah bisa cerita die udah bisa marah-marah ngambek ke produser di dalem. Hehehe. Khas orang lapangan banget.

Nah, sewaktu gue akan berangkat sekolah lagi, die menyambangi gue tengah malem, dengan masih bermuka lelah sepulang shift kerja. Kite ngobrol di rumah.

“Sorry besok nggak bisa ikut nganter ke bandara.”

“Tenang men, it’s OK. Kita sama-sama kejar impian ye.”

*

Nah, terus kita kembali ke pokok utama cerita saya. Yah benar, kehidupan asmara kawan saya ini. Entah kenapa yah. Padahal mukenya mirip-mirip blasteran gitu. Lumayan top juga. Kok ya Cupid tidak pernah berpihak padanya.

Dulu dia bilang mau segera menikah. Udah nyicil ngangsur rumah dari gajinya. Eh kandas dengan seorang wanita yang sudah sekian bulan dipacarinya. Die patah hati diputusin. Lalu Desember silam menelepon mengabarkan die sekarang pacaran dengan seorang pramugari. Wah. Cantik pastinya, dan mereka sedang bersiap kawin tahun 2007 ini. restu kedua orang tua sudah diraih. Ealah. Nasib. Die diputusin via telepon saat dia sedang berdinas luar kota sebulan, meliput berita sebuah institusi pendidikan terheboh tahun ini.

Inilah telepon yang membuat gue turut simpati, die sering menelepon kalo lagi dapat fasilitas telepon. Hehehe. Atau kadang gue yang menelepon pakai fasilitas voipbuster, meski jarang.

Kadang isi teleponnya nggak penting seperti ucapan salam dari narasumber yang ditemuinya yang masih ingat gue. Atau tentang kantor yang terendam banjir hingga dipindah lokasi sementara. Juga info-info terkini dengan gambaran lengkap dari lapangan.

Jadinya gue masih bisa update gosip kantor. Jadinya gue tau kalo gaji naek lagi, bonus insentif naek lagi, SPJ jadi 125 ribu keluar kota dan dihitung perhari bukan permalam lagi.

Duh, gimana yah. Kadang kita perlu menerawang jauh dan memahami kadang disatu sisi kita dipuaskan dan harus bersyukur. Dan disisi lain kita diuji, dan harus tabah. *Duh jadi sok bijak gini tulisan gue*.

Lalu gue manggut-manggut mendengarkan kegundahannya lebih jauh, saat die menceritakan bagaimana dia menelepon orang tua sang gadis mengabarkan semuanya.

Ah, kok ya bisa yah. Padahal udah siap rumah, udah punya cukup banyak tabungan buat kawin hasil ngumpulin SPJ, anaknya juga anak baek-baek, nggak pernah jajan cewek diluar, tipe setia. Soal tampang, wah jaminan deh calon mertua bisa pamer pas lagi nonton tipi di pos ronda bareng kolega.

Wah. Gue cuma bisa turut simpati dan menghibur. Semoga lo baek-baek aja sob.

Padahal.

Hehehe. Padahal.

Baru aja kemaren ada temen gue curhat serupa, Cuma laen jenis. Udah jadi esmud muda di Jakarta, cuantik, ok punya, sukses karirnya. Kok kesusahan yah nyari cowok. Ampe stress pas curhat.

Apa gue kenalin aja yah keduanya?

Wednesday, April 11, 2007

Barli Darsyah: unauthorized biography (beta version)

Ingatkah pada gagasan Plato, yang mengisahkan bahwa dewa-dewa gentar
pada manusia, makhluk yang tadinya sifatnya baik laki maupun perempuan,
manusia-manusia hermaprodit yang dalam kesempurnaan kelengkapannya akhirnya dibelah dua dengan pedang, menjadi dua makhluk terpisah, yang tidak aneh lagi akan seterusnya saling mencari kelengkapannya lagi. Kedua-duanya masing-masing ingin menemukan pasangannya, diburu oleh suatu kenangan yang terpateri, suatu idaman, menjadi romantika cinta dan sekaligus nafsu birahi.

--Toeti Heraty, dalam ‘Dongeng untuk seorang Wanita’--






Dari gerbong baris depan Kereta Api pagi di Stasiun UI Depok, bergegas turun sesosok pemuda berusia mendekati 21 tahun. Raut mukanya yang polos dan dihiasi oleh kacamata yang tebal, kontras sekali dengan postur tubuhnya yang ‘berlebih’. Ditangan kanannya senantiasa tergenggam erat harian Pos Kota, yang katanya menjadi sumber informasi sekaligus inspirasi baginya. “Sebagai mahasiswa, dengan membaca ini Gue jadi lebih dekat dengan rakyat. Jadi Gue paham masalah aktual rakyat kecil”, demikian ujarnya lantang jika ada orang yang iseng menanyakan selera bacanya.

Wajahnya senantiasa menampilkan kesan ceria, dengan senyum ramah pada siapa saja, yang selalu menghias bibirnya. Pembawaannya yang supel, pandai bergaul, membuat siapa saja betah ngobrol dengannya. Rasa humornya yang tinggi, ditambah koleksi leluconnya yang norak dan kadang-kadang kampungan, akan memancing lawan bicaranya untuk tertawa tergelak.

Sebagai seorang mahasiswa, ia tergolong diatas rata-rata. Intelegensianya jauh diatas semua anak muda di kampung halaman aslinya, nunjauh di Sentiong sana, dimana ia berdomisili. Setelah kandas dari cita-citanya ingin masuk Tehnik, ia memilih studi di Hukum. Dan melepaskan kesempatan lain, ketika ia lolos diterima di Psikologi, perjaka berkulit sawo matang ini ingin tetap di jalur Hukum.

Namanya Barli Darsyah. Kawan-kawannya memanggilnya Barli, cukup sederhana. Sesederhana pembawaan orangnya, ia sudah puas dengan penampilannya sehari-hari; Kemeja dengan motif kotak-kotak kesayangannya, topi hitam penahan terik matahari yang sudah lapuk, Jeans belel yang menjadi favoritnya, dan tak lupa dibahunya diselempangkan tas dengan logo salah satu produk mie yang menurutnya amat bersejarah itu.

Barli senantiasa menyisihkan uang sakunya untuk ritual mingguan yang kudu dijalaninya. “Sekedar pelepas stress,” ujarnya kala ditanya akan kegemarannya ini. Yah, setiap minggunya pada hari Senin, selepas kuliah ia akan memimpin rombongan temannya untuk pergi menonton film bioskop dengan harga hemat. Secara bulat, ia memang telah didaulat untuk menjadi Koordinator, ‘Koorlap Nomat’, istilahnya anak-anak.

Dibalik semua itu, Barli dikenal sebagai pekerja keras disetiap kesempatan. Setiap ada event-event resmi, entah itu seminar, workshop, simposium, atau apapun nama lainnya, ia selalu dipercaya. Orang yang ditunjuk nomor satu sebagai rebutan para Koordinator adalah Barli. Semua pekerjaan yang dilimpahkan selalu sukses. Reputasinya selalu bagus disegala bidang, bahkan untuk tugas yang dirasa cukup mustahil. Apakah ada keberuntungan disisinya? “Gue selalu bersikap profesional. Dan tidak lupa pantang menyerah,” sahut Barli dengan senyum lebar menampakkan giginya yang putih.

*

Cerita ini diawali pada suatu pagi hari yang cukup cerah di Stasiun Cikini. Seperti rutinitas sehari-hari, Barli menunggu Kereta Api jurusan Depok. Ketika sedang termangu-mangu menunggu, matanya terantuk dengan seorang cewek. Entah mengapa, dirasanya cewek yang satu ini punya daya pesona. Barli yang sudah empat semester ini “menjomblo”, merasa menemukan gairah hidupnya kembali, setelah sebelumnya sempat putus asa.

Dalam kapasitas memori otaknya yang baru di-charge, Barli berusaha mengingat. Kalau tidak salah, tuh cewek sama-sama satu angkatan sama Gue di Fakultas. Tapi siapa yah namanya?. Barli merasa sering melihatnya, tapi setahunya cewek itu nggak pernah naik kereta, karena dia hafal anak-anak komunitas kereta.

Gayung ternyata bersambut. Entah karena apa, Cewek manis dengan bibir mungil dan rambut ikal sebahu itu mendekat kearahnya. Oh, namun ternyata ia menghentikan langkahnya. Rupanya handphonenya berdering, ia menjawab telepon itu. Lima menit kemudian, ia kembali berjalan ke arah Barli. Barli pun bersiap memberi sapaan. Hai, kok tumben. Rasanya Gue jarang lihat Lo, deh. Tapi, lagi-lagi beberapa meter dihadapannya, ada seseorang temannya yang menegur, ia terhenti dan mengobrol. Barli kecewa, ia penasaran dengannya. Siapa sih namanya, kok Gue bisa lupa?.

Ketika pandangan mereka bertemu, sang cewek tersenyum manis padanya dan melambai. Barli seketika jadi berseri-seri dan membalas dengan anggukan. Pada saat itu juga KRL tiba. Kereta gerbong pendek itu membuat para penumpang berebut naik. Barli yang hendak menunggu sang cewek naik, jadi terdorong arus penumpang naik ke dalam. Disela-sela himpitan penumpang, ia melihat sang cewek juga naik dari pintu yang sama. Akan tetapi, kejadian selanjutnya sulit diduga. Saat menapakkan kakinya dipintu, sang cewek manis tersenggol penumpang yang membawa karung bawaan. Ia terjatuh di peron, dan sepatu hak tingginya jatuh di rel. Barli yang melihat adegan tersebut, berusaha keluar untuk menolong. Namun sia-sia, badannya yang gemuk membuatnya susah melepaskan dirti dari himpitan orang sekitar. Kereta sedetik kemudian melaju.

Adegan selanjutnya hanya bisa Barli lihat dari jendela kereta. Ditengah kebingungan sang cewek manis, datanglah seorang cowok tampan berambut cepak, dari kaosnya Barli tahu itu anak FISIP. Sang cowok menegur ramah dan menawarkan bantuan. Dibantunya sang cewek berdiri, dicarikan tempat duduk, dipijatnya kakinya yang nyeri, dan diambilkannya sepatu yang jatuh.

Barli lemas melihat adegan romantis ditengah kesunyian Stasiun itu. Ah, seharusnya Gue yang melakukan itu, tapi kenapa Gue tersangkut disini?, gumamnya lemas.
*

“Namanya Karenina Lutfansha Scudetto Djojosentiko. Lahir di Kremlin, Rusia. Selain kuliah di Hukum, ia juga ambil D3 Sastra Rusia mulai semester kemarin.” Kata-kata itu keluar dari mulut Jutaya yang mengebul-ngebulkan asap rokok Mild-nya. Jutaya ini adalah seorang kawan akrab Barli yang berprofesi sebagai wartawan Freelance. Spesialisasinya mengumpulkan info apa saja, mengenai siapa saja, dalam waktu cepat, entah dari mana, dan bagaimana caranya. Nah, ceritanya setelah kejadian tempo hari, Barli curhat sama sohib-sohibnya, dan semua pada berniat membantu. And then, hari ini mereka berkumpul untuk membahas temuan Jutaya.

“Sebentar Jut, kalau Gue kritisi sih satu, kok namanya aneh bener, Lo ngarang yach?”, dialog ini disumbangkan oleh Darul, mantan aktivis proletarian yang hedonis sewaktu-waktu, ciri khasnya sebagai rakyat ditunjukkan dengan kegemarannya memakai benda yang katanya seperti milik rakyat banyak, yaitu sandal jepit swallow butut yang setia memperlihatkan jempol kakinya yang gede.

Semua yang ikut hadir juga mengannguk-angguk bego, yah, memang kalau di daftar absen cuma tertulis, Karenina, atau di Biro Pendidikan tertulis, Karenina L S Djojosentiko. Perihal ini kemudian dijawab dengan cerita panjang lebar dari Jutaya, sembari mengibaskan rambutnya yang gondrong tebal, tapi tanpa ketombe.

“Bokapnya Duta Besar yang senang keliling dunia, beliau paling doyan baca Anna Karenina-nya sastrawan Leo Tolstoy. Terus, favoritnya kalau pergi ya naik pesawat Lutfansha, karena disitulah ia ketemu jodohnya, yang notabene ibunya Karenina. Ketika Karenina lahir, bapaknya lagi menanam saham di Klub Lazio di Italy. Pas lima menit sesudah kelahiran, pamannya Karenina yang sedang ngambil S-2 Arsitektur di Italy telepon, katanya sahamnya naik gila-gilaan ketika Lazio jadi juara musim itu. Nah, peristiwa bersejarah itu langsung diabadikan di bayi yang lagi nangis itu. Kalo Djojosentiko kagak usah ditanya, itu memang nama dari leluhurnya, bapak-ibunya itu asli Madiun”.

“Wuow!” tampillah mulut-mulut monyong para punakawan yang hadir di situ. Semua takjub mendengar hasil temuan Jutaya. Cuma Malthus yang sedikit garuk-garuk kepalanya yang cepak duri landak. Sang calon Profesor yang rajin main ke CSIS, British Council, dan semua perpustakaan di penjuru Jakarta itu, setengah takjub dengan kemampuan Jutaya mengumpulkan data. Yang setengah lagi gengsi yang ditahan biar nggak hilang wibawa.

“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membantu kawan kita ini?” sang Darul yang sok kritis melontarkan ucapan ini dengan tangan mengacung, disertai mulut melontarkan napas papermint. John yang terdekat terlontar beberapa depa sambil menutup mulut.

“Guampang!,” sang raja cinta, Omar, arab ganteng satu ini yang punya hidung bangir menukas.

“Ini beberapa langkah klasik yang harus ente lakukan,” ia berkata menggebu-gebu. Kakinya dihentakkan ala gypsi king.

“First, taburi ia dengan kado dan bunga. Second, isi hari-harinya dengan puisi dan syair romantis. Last, candle light dinner and ask her to dance in the moonlight.” Sabda ini ditutup dengan senyum manis. Wajah terpelongo muncul dari makhluk-makhluk jomblo yang berkumpul di pojokan tangga itu. Mereka pura-pura bego atau emang nggak nyadar, kalo yang ngomong ini juga jomblo yang senantiasa gagal bercinta.

Anyway, yang jelas Barli hari itu tidak pulang. Ia memutuskan menginap di kos-kosan temannya. Lho ia mau apa? Rupanya ia merenung dalam. Ia akan membuktikan tiga langkah klasik konvensional ala sohibnya Omar.
*


Cerita ini kita switch. Bagaimana sih kabar si Karenina? Ternyata pagi itu do’I lagi sial. Starlet kesayangannya ngadat, and tidak ada satupun teman cowoknya yang bisa ditebengin. Walhasil, jadilah dia naik kendaraan angkut massal, KRL.

Setelah kejadian memalukan di Stasiun Cikini itu –untunglah ada pria baik hati yang menolongnya--, sang Karenina sampai di Stasiun UI Depok. Bis Kuning rute lurus pertama langsung dihinggapinya dengan semangat empat lima. Sebelumnya ia melambai dengan mesra pada sang ksatria penolong. Jangan tertipu, senyum manis itu cuma lip service aja. Dalam hatinya, huh sebal minta ampun, mata cowok itu seraya ingin melumat tubuhnya hidup-hidup. Tangannya jahil sok akrab, belum lagi tutur katanya yang penuh bujuk rayu murahan. Kalau saja ia tidak ingat dengan jasa sang cowok, wah mana mau ia bermanis muka seperti memberi harapan pada makhluk itu. Yah itung-itung balas jasa lah. Tapi nomor telepon, eits nanti dulu.

Kenapa sih semua cowok itu brengsek? Ia sadar dirinya cantik luar biasa, atas-bawah, kiri-kanan, jauh-dekat. Donita, sang VJ MTV, lalu Cameron Diaz, ditambah Angelina Jolie, terus diramu tambah sedikit Diana Pungky sebagai muatan lokal jadilah dia. Cuma satu yang membedakan ia dengan wanita setipe kebanyakan, ia smart. That’s it, adagium yang berlaku di mata khalayak umum, yaitu, “pretty girls got no brain” tidak berlaku baginya.

Jangan salah, biarpun tidak pakai kaca mata, dari mulai filsuf kontemporer seperti Foucault dan Jacquez Derida, hingga pelopor pop art seperti Andy Warhol dan Salvadore Dali, bahkan futurolog Alvin Toffler hingga pemikir Islam modern seperti Mohammed Arkoun, semua ia kuasai benar. Cewek yang satu ini pelahap buku yang ganas.

Nah, maka dari itu nggak musim lah, cowok standar ibu kota yang jurus rayuannya cuma sampai level film American Pie. Pernah, suatu kali ada seorang pria menembaknya dengan bunga, setelah berhasil mengajaknya nonton. Apa yang dilakukan Karenina? Diterimanya bunga itu dengan tangan kiri, lalu ditunjuknya akar pohon yang menonjol dengan telunjuk kanannya. Ia berkata, “Akar adalah bunga yang meremehkan kemasyuran.” Sang cowok terdiam bengong, sembari mengernyitkan dahi.

Karenina membalik badan dan pergi meninggalkan sang cowok, “Maaf Ray, aku tidak mau, kita teman aja yah.”

Sang cowok masih belum tune in, “Karen, masalah akar itu?”

“That’s the word of Kahlil Gibran.” Ia menjawab perlahan sebelum menutup pintu. Sang cowok hanya bisa menatap gaun birunya yang perlahan menghilang di balik pintu.

Foolish man, you’re not worth it.
*


Eh, terus ceritanya gimana nih? OK gini kelanjutannya jali (baca: jalee! dengan logat betawi lagi teriak (baca tereak)). Keesokan harinya, sang Karenina yang punya tubuh nggak kalah yahud dengan Karenina fotomodel itu, tengah berjalan di lorong locker menuju kelas pancasila. Ia dikagetkan dengan seonggok benda aneh bin ajaib yang tergeletak tertempel di lubang kunci lockernya.

Apaan nih? Karenina berhenti memeriksa. Ternyata sebuah bungkusan dari kertas coklat. Wah, pakai surat berwarna hijau marun segala! Ia lantas meraih cepat secarik kertas tersebut. Diamatinya lekat-lekat dengan mata tak sabar. Diketik dengan Tahoma font 10 dicetak dengan printer deskjet.

Isi surat tersebut:

Ampuni aku telah mengirimimu surat ini. Tapi apa lacur, aku memang tak kuat untuk mendiamkan diri dan melihat pena yang bersedih tak kugoreskan. Aku terteror oleh pena yang biasa menggelinding di kertas kumal itu.

Aku ingin kembali mengarungi kehidupan yang layak sebagai manusia. Namun alangkah tidak mengenakkannya bila kenyataannya kau telah mencuri, atau boleh kau katakan, merampok hatiku. Hilang sama sekali. Tak ada yang tersisa. Semua kau ambil bahkan tak kau tinggalkan untuk seorang gadis manapun walau satu persen. Telah kau embat¹ semua hatiku, sehingga tak kurasakan lagi gairah hati yang melayang terbang untuk wanita lain.

Maka sempatkan hatimu menikmati hatiku yang telah kau bawa itu. Karena kemarin tak ada lagi yang harus disematkan dalam hatimu kecuali kehampaan untuk mencampakkan barang curian itu. Barang haram yang sangat berharga dan tak pantas untuk digunakan oleh orang-orang sesuci dirimu. Maka kalau kau tak gunakan hatiku tolong, kumohon dengan sangat, kembalikan padaku agar tentram hidup ini dan sekali-kali tidak merasakan penatnya tidur yang tak mengistirahatkan.

Karena hatiku telah tiada. Kau bawa. Kau buang di comberan². Dan aku ingin itu cepat kembali. Kau temukan lah di tempat kau membuangnya. Letakkan di bawah pohon rindang (dpr) gerbang FHUI kita. Benar-benar aku membutuhkan hati itu. Yang kemarin tak pernah kurasakan nikmatnya hidup. Yang terbuang dan terlantar antara kering dan gemeratak serpihan suara terbakar. Yang kerontang oleh deburan ombak dan kemilau kunang-kunang yang mati lampunya.

Kau, yang nanti akan berkata pengecut bagi kunang-kunang yang hanya sanggup keluar di malam hari sekalian begadang. Karuniailah hatiku senyummu yang terkulum di daun-daun melati.

Kau yang akan mencak-mencak karena ulahku yang tidak bermoral. Maka sekarang lumatkan moral itu di bibirmu yang tersungging. Karena moral sekarang adalah barang langka yang disukai para kolektor barang antik. Suka diletakkan di dalam rumahnya untuk hiasan atau barang Entertainment.³

Aku ingin bicara denganmu dalam bahasa tulis. Kau harus mengerti ini. Karena sebenarnya aku ingin juga bicara denganmu secara langsung. Tapi kepengecutanku telah menghambat keinginan itu. Sebenarnya ingin rasa hati mengadakan dialog Interaktif agar hati terklarifikasi. Namun kupikir kau belum mau mengadakan itu.

Sudahlah. Karena tak ada gunanya membahas keadaan yang memang seharusnya ada. Kupikir lagi, ternyata memang ini yang harus terjadi. Bertepuk sebelah tangan, kata orang. Dan kau hanya bisa membaca tulisanku. Yang mungkin tak kau suka. Atau memang kau muak sama sekali untuk melirik kiriman suratku.

Kemurungan ini menjadi keindahan tersendiri kalau kau rasakan. Karena dalam hidup memang penuh dengan kenyataan yang harus kau alami. Kemarin dan sekarang adalah bias kenyataan yang wajar dan patut didiamkan. Kesepian yang membumbung untuk membunuh dan meracuni hati. Menjadi kendala tersendiri, akhirnya menyuarakan keabadian rasa. Yang tercabik-cabik oleh kedurhakaan hati untuk benar-benar mengerti.

Di pagi, siang, sore atau malam hari ketika otakku benar-benar tercurah padamu kutikamkan carut-marut otak ke kertas dengan pena yang menggelinding. Dan aku bahagia dengan keberhasilan menulis untaian gombal ini. Kalau kau ingin tahu sampai kapan akah berakhir, maka aku sendiri tidak tahu akankah ada titik Nadhir(4) yang memberhentikan.

Tapi, ampuni lah aku. Kupikir aku tak usah mengkompromikan kunang-kunang dan melati karena itu cerita lama. Sekarang yang ada adalah kejujuran antar manusia yang, entah, mengapa harus dipertemukan. Pertemuan yang menyakitkan untuk tidak mengatakan menyesalkan. Kupikir andai aku tiada dan kau ada.

Kemarilah, mendekatlah padaku bersama kepengecutanku yang diucap oleh berpuluh-puluh mahasiswa FHUI ketika mereka tak sengaja membaca suratku. Atau ketidak jantanan yang hanya sebuah klise belaka dari iseng manusia yang tak punya kerjaan untuk memperbincangkan sesuatu.

Catatan:
1 Embat, berasal dari kata entah mana. Yang jelas dia berakar pada bahasa ibu, bahasa daerah. Oleh karena Indonesia kekurangan bahan untuk membahasakan perasaan hingga membutuhkan kata yang cocok untuk menjadi ungkapan hati.
2Tempat dimana kotoran selalu tetap ada dan kekal selamanya di sana, kecuali dengan adanya campur tangan manusia yang berbudi dan sadar terketuk hatinya atau hanya oleh sekedar orang upahan
3 Entertainment dari bahasa inggris. Sengaja kubuatkan foot note agar kau yang pandai bahasa inggris lebih ingat lagi akan kata ini. Mungkin ku mengartikan itu adalah semacam accessories. Atau entah kau mengatakan apa.
4 Suatu batas yang paling terbawah dari apa saja yang kita maksud. Darul, suatu tafsir di malam hari.

Gila, dashyat banget. Pagi-pagi udah dapat surat dari orang gila. Ini anak mana yang nekat begini. Suratnya sih boleh juga. Kayaknya penulisnya punya selera, tapi kok mau jadi pengirim anonim, malah bikin kesalahan.

Pikiran Karenina melayang-layang, otak cerdasnya berputar kesana-kemari. Tangannya lantas meraih benda yang tersisa dari bungkusan kertas itu. Apaan nih? Sebatang coklat Silverqueen? Oh masih ada ya, yang ngirim coklat model beginian. Karenina memasukkan coklat tersebut dan berlalu. Dari lirikan sekilas matanya yang tajam, ia menyadari pandangan tiga pasang mata dari lantai dua.
*


Brakk!! Darul yang sedang merapikan buku-bukunya terkaget-kaget. Locker di samping tempatnya duduk digedor kuat-kuat. Karenina yang melakukannya, ia sedang melotot sangar, lurus ke arah Darul.

“Ha.. hai, Kar?” Darul seperti salah-salah tingkah.

“Eh, Darul langsung aja yah, gue perlu info nih. Harap jawab dengan jujur,” Karenina lantas menghempaskan tubuhnya di samping Darul duduk. Darul tidak berkutik, tapi ia berusaha terlihat tetap tenang seolah-olah ‘biasa aja.’

“Siapa yang ngirim surat ama gue?”

Darul yang tidak menyangka akan datang serangan langsung ke jantung pertahanan, belum sempat mengatur posisi. Ia gelagapan.

“Udahlah Rul, gue tahu kok. Ada kebodohan pada si pengirim surat itu.”

“Maksudnya sih Ok, pake foot note segala. Tapi kok akibat menuliskan nara sumber, eh malah nama lu nyangkut. Hmmm,” lanjut Karenina panjang lebar.

Darul masih diam. Ia masih memilih jurus mutakhir dari sang lawan ini.

“So, mister ahli tafsir tengah malam?” Karenina mendekatkan mulutnya ke kuping Darul dengan nada suara dipelankan. “Siapa tuh makhluknya, yang nanya masalah titik nadhir sama elu?”

Ini cewek kebanyakan baca detektif Kindaichi, kutuk Darul dalam hati.

Hening sejenak.

“Udah deh. Lo gak usah jawab sekarang ntar gue juga pasti ketemuin makhluknya. Tuh, cewek lo lagi menuju ke sini,” Karenina bangkit berdiri dan mengerling ke arah seorang gadis berjilbab biru muda yang berjalan ke arah mereka.

“Sekarang lo selamet Rul, ntar awas lu,” nada suara yang riang lembut, Darul menatap sang penolongnya dengan mimik lega.

Wah, si Barli musti segera di-briefing sebelum ketahuan.

*

Layaknya sebuah film Hollywood, cerita ini tentulah diselingi dengan sebuah adegan keren lainnya. Kalau lurus terus tentulah garing jadinya.

Nero memarkir mobil sedan merahnya di pakiran belakang kampus FHUI. Ia menatap target sasaran dari dalam mobilnya. Ibnu yang duduk di sampingnya bergegas mengeluarkan buku sket ukuran A3 dan sebuah pensil gambar.

“Tuh yang itu, tuh,” Nero menunjuk seorang wanita manis berbaju putih yang duduk bersama teman-temannya di kantin.

Ibnu yang sangat berbakat, dengan cekatan mencorat-coret buku sketnya. Sepuluh menit kemudian sebuah sket close up dengan perspektif garis yang luar biasa bagus, layaknya karya maestro jebolan seni rupa ITB, diserahkan ke tangan Nero.

Nero bangkit keluar dari mobilnya, berjalan menuju kantin dengan buku sket di tangannya. Ia memilih duduk di pojok kantin. Posisi yang strategis sehingga sang target dapat menyadari kehadirannya. Dari pojokan itu, ia duduk memandang lurus sang target seraya asyik mencorat-coret buku sketnya. Diulanginya terus hingga sang wanita target benar-benar merasa ia adalah model sketsanya.

Setelah dirasa cukup, dia merobek selembar kertas buku sketnya dan memesan minuman. Sang pelayan yang mengantarkan minuman dimintanya untuk mengantarkan lembaran itu pada sang target.

Adegan berikutnya dapat diduga. Sang target melihat sangat surprise pada lembaran kertas itu, dan langsung menoleh ke arah Nero. Nero mengangkat gelasnya dan kelima jari kirinya direntangkan lurus ke depan, menunjuk bangku kosong di hadapannya. Sang wanita serta merta bangkit dan menuju ke meja dimana pemuda berpenampilan keren tersebut duduk.

“Halo Vera,” Nero memulai percakapan dengan sang target yang bernama Vera tersebut. Matanya tak bisa lepas dari sibakan rambut Vera.

“Ini bagus sekali, Nero aku gak tahu kamu bisa gambar sebagus ini. Ini untuk ku?” Vera masih terkagum-kagum dengan wajah sumringah.

Nero mendekatkan wajahnya, dan berkata lembut menggoda, “I’ll sell it for you.”

Vera membalas tersenyum, “Hmm, I can not afford this.”

(to be continued)