ada yang mengutip nama saya, dengan bangga saya share tulisan itu, silahkan mencari nama saya... hmmm kang agus memang luar biasa...
http://asopian.blogspot.com/2006_03_01_asopian_archive.html
Etika Jurnalisme
Oleh Agus Sopian
DIAKUI atau tidak, pers memiliki special privilege, hak-hak istimewa. Tak jarang hak-hak istimewa ini dikesani bekerja paralel dengan kewenangan institusi lain. Satu contoh, pers bisa bertindak seperti polisi ketika muncul suatu kasus yang memerlukan penyelidikan. Bedanya, petugas polisi menuangkan hasil penyelidikannya dalam BAP (berita acara pemeriksaan) untuk dibaca atasan, kemudian diteruskan kepada jaksa atau hakim di pengadilan. Wartawan menuliskannya dalam kolom-kolom berita untuk dibaca publik. Bedanya lagi, polisi diberi pistol dan wartawan cukup bersenjatakan pulpen dan jolt note atau alat perekam, entah tape recorder atau kamera.Special privilege pers tak hanya sebatas itu, tapi kadang menjangkau lebih jauh ke dalam kehidupan politik negara. Lintas sejarah memperlihatkan dengan jelas bagaimana insan pers sekelas Ida Tarbell mampu melahirkan opini baru tentang politik ekonomi perminyakan Amerika, segera setelah Ida Tarbell menyelidiki kiprah Standard Oil Company, milik keluarga terhormat John D. Rockefeller. Itu awal abad ke-20. Pada paruh kedua abad yang sama, Bob Woodward dan Carl Berstein dari Washington Post kembali mengingatkan special privilege pers itu ketika menyelidiki kecurangan politik Partai Republik hingga berbuntut jatuhnya Richard Nixon, politisi ulung cum presiden Amerika di tahun 1970-an. Baik kiprah Ida Tarbell maupun duet “Woodstein” dianggap ikut meletakkan setting budaya politik Amerika, seperti juga lembaga kongres atau lembaga-lembaga lain.Di Indonesia, wartawan yang membaca sejarah pers dengan seksama, niscaya akan mengetahui bagaimana Indonesia Raya membongkar korupsi Pertamina. Suatu tindakan heroik, yang jauh melebihi kecepatan polisi atau jaksa kala itu. Agak ke sini, Tempo memutuskan untuk menyelidiki kasus dugaan korupsi Akbar Tanjung hingga meledak apa yang disebut “Bulog-gate.”Tidakkah Ida Tarbell, “Woodstein”, Indonesia Raya dan Tempo, melampaui batas-batas kewenangan aparat penegak hukum? Sekali lagi, inilah special privilege: bahwa pers berhak mencari, mengumpulkan, menyusun dan menyiarkan informasi kepada publik. Informasi bisa apa saja, mulai ramalan cuaca, hasil pertandingan olahraga, aktivitas ekonomi, politik, kebudayaan, agama dan banyak lagi.Dengan fungsi dan peran yang sedemikian besar itu, pers jelas tak hanya memerlukan pagar hukum, tapi juga pagar etika. Hukum, dengan daya special privilege yang sedemikian kokoh, bahkan sering tak bisa berbuat banyak terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan pers. Misalkan saja, bisakah hukum mengambil tindakan terhadap pers yang nyata-nyata mengeritik negara, bahkan mengecam kebijakan penguasa nomor satu? Di zaman raja-raja, ketika hak-hak politik sipil tak mendapat jaminan konstitusi secara layak, orang atau institusi yang mengeritik negara, bisa ditangkap, dihukum, malahan bisa dipancung dengan tuduhan tak setia kepada negara dan penguasa. Bagaimana di zaman ini? Tunggu dulu.Benar bahwa kritik terhadap negara atau penguasa, terkadang bisa dianggap memuat suatu defamation (penistaan), dalam hal ini bisa dianggap sebagai suatu prosekusi libel. Tapi, special privilege pers dapat mengelak dari anggapan tadi. Caranya, cukup dengan dalih, bahwa pers memiliki fungsi esensial untuk menjalankan kontrol sosial, dan negara atau penguasa jelas-jelas merupakan bagian dari kehidupan sosial. Negara-negara maju umumnya tahu soal special privilege ini, sehingga tak perlu buang energi capek-capek untuk memperkarakan pers.Kenapa negara tak bisa menggugat pers ketika mereka merasa dijahati dengan kritik atau kecaman pers? Wahyuningrat, seorang kolega di salah satu milis milik Yayasan Pantau, mengingatkan seputar pendapat Toby Mendel. Orang yang dimaksud adalah direktur program hukum pada Article 19, sebuah institusi dari London yang mengampanyekan kebebasan berekspresi di seluruh dunia. Article 19 ikut memberi pertimbangan terhadap kelahiran UU Pers No. 40/1999. Salah satu kertas kerja Toby Mendel yang terkenal adalah Freedom of Information: a Comparative Legal Survey, yang menghimpun hasil survai kasus-kasus hukum di sedikitnya 10 negara: Bulgaria, India, Jepang, Meksiko, Pakistan, Afrika Selatan, Swedia, Thailand, Inggris dan Amerika Serikat.Dalam versi Toby Mendel, ada tiga basis pendapat pendapat mengapa negara tak bisa menuntut pers. Pertama, kritik terhadap pemerintah adalah vital untuk menyukseskan demokrasi, dan tuntutan pencemaran nama baik menghalangi perdebatan bebas perihal masalah vital yang menjadi perhatian publik. Kedua, hukum pencemaran nama baik dibuat untuk melindungi reputasi. Badan atau instansi tak memiliki hak menuntut karena reputasi yang mungkin mereka miliki adalah milik publik. Ketiga, pemerintah memiliki banyak kemampuan untuk membela dirinya dari kritik tajam dengan cara lain, misalnya merespon langsung pada semua dugaan.Berpegang pada basis pendapat Mendel atau tidak, banyak pers yang lolos dari lubang jarum hukum ketika mereka terkena dugaan melakukan kejahatan terhadap negara. Salah satu yang terkenal adalah ketika The New York Times membongkar keterlibatan Amerika dalam Perang Vietnam. Times diminta pemerintah Amerika untuk memetieskan isu dokumen soal itu, yang kemudian dikenal sebagai skandal Pentagon Papers. Times melawan, dan bahkan meminta pengadilan agar pemerintah Amerika memberikan volume sisa dokumen lain, yang belum dimiliki Times untuk kepentingan pemberitaan. Amandemen Satu memenangkan Times, sekaligus makin menegaskan adanya special privilege dalam tubuh pers untuk “kebal hukum”.Kekuatan, implisit di dalamnya kekuasaan, yang dimiliki pers jelas-jelas tidak kecil. Pers bisa menjatuhkan siapa saja yang tak disenanginya tanpa takut aturan hukum positif dan suprastruktur politik. Tepat pada titik inilah pers dipandang perlu pagar lain bernama etika, nilai-nilai moral yang menghendaki pertanggung-jawaban nurani jurnalisme.Di Indonesia, etika jurnalisme dirumuskan dalam seperangkat aturan moral bernama Kode Etik, yang dirumuskan oleh banyak organisasi kewartawanan mulai Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) hingga Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Saya melihat, hampir semua etika jurnalisme yang dirangkum oleh organisasi-organisasi kewartawanan kita, lebih mengurusi apa itu akurasi, pemberitaan berimbang atau hak jawab.Etika jurnalisme lain, yang jauh lebih esensial seperti independensi, nyaris luput dari perhatian. Bahkan Kode Praktik (Code of Practices) yang disusun oleh Dewan Pers lebih memberi tekanan pada soal akurasi tadi, demi berlakunya etika dan standar jurnalistik profesional serta media yang bertanggung jawab. Padahal, tujuan jurnalisme, tentu saja bukan akurasi. Akurasi hanyalah salah satu metode dalam verifikasi, dan verifikasi adalah usaha untuk mendapatkan kebenaran yang bersembunyi di balik suatu fakta. Akurasi masih separuh langkah dari tujuan jurnalisme.Di hampir semua negara maju, kode etik jurnalisme justru disusun oleh lembaga pers, dan bukan lembaga kewartawanan. Kode etik ini sering jauh lebih bertenaga sebab di dalamnya terangkum sanksi secara tegas. Saya suka salah satu butir kode etik yang dimiliki The New York Times, yang “menempatkan plagiarisme sebagai dosa yang tidak bisa dimaafkan.” Karena penjiplakan tak bisa dimaafkan, Times bisa menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap wartawan yang melakukan plagiarisme. Salah satu isu plagiarisme yang kemudian jadi berita besar di seluruh dunia adalah kasus Jayson Blair, seorang wartawan muda yang cerdas.Perilaku bebal Blair dimulai saat menuliskan kisah keluarga Jessica Lynch, tentara Amerika yang tertawan di Irak saat Amerika menyerbu negara itu awal tahun 2003. Laporan Blair menerbitkan kecurigaan San Antonio Express-News, dan menganggap Blair telah melakukan penjiplakan. Penyelidikan internal Times menghasilkan beberapa hal janggal mulai fakta Blair sama sekali tak pernah datang ke kota di mana keluarga Lynch tinggal, selain tak pernah berhubungan dengan keluarga Lynch, baik datang secara omni present maupun menelepon. Times menyimpulkan Blair telah melakukan penjiplakan dan tak layak menjadi wartawan Times lagi. Bersama kepergian Blair, pemimpin redaksi Howell Raines serta Redaktur Pelaksana Gerald Boyd mundur.Kode etik memandu Times untuk mengambil keputusan secara cepat, tanpa melewati liku-liku hukum yang berlarut-larut. Etika jurnalisme juga sekaligus meruntuhkan ego The New Times yang selama ini menolak adanya ombudsman, lembaga yang bertautan erat dengan pemantauan pelaksanaan etika jurnalisme di masing-masing institusi pers. Sekarang Times memiliki ombudman dengan nama “redaktur publik” -- yang secara langsung mematahkan argumentasi di seluruh dunia bahwa ombudsman tak diperlukan institusi media. Analog dengan itu, media-media di Indonesia juga perlu ombudsman untuk mengendalikan kekuasaan yang dimilikinya. Ini semata-mata agar aturan main organisasi pers, baik secara internal maupun eksternal, dapat dipertanggung-jawabkan kepada publiknya. [end]
Tulisan ini adalah makalah pengantar untuk seminar Orientasi Jurnalistik 2006 di Kampus Fak. Ilmu Komunikasi, Unpad, Bandung, Senin 27 Februari 2006.