Ingatkah pada gagasan Plato, yang mengisahkan bahwa dewa-dewa gentar
pada manusia, makhluk yang tadinya sifatnya baik laki maupun perempuan,
manusia-manusia hermaprodit yang dalam kesempurnaan kelengkapannya akhirnya dibelah dua dengan pedang, menjadi dua makhluk terpisah, yang tidak aneh lagi akan seterusnya saling mencari kelengkapannya lagi. Kedua-duanya masing-masing ingin menemukan pasangannya, diburu oleh suatu kenangan yang terpateri, suatu idaman, menjadi romantika cinta dan sekaligus nafsu birahi.
--Toeti Heraty, dalam ‘Dongeng untuk seorang Wanita’--
Dari gerbong baris depan Kereta Api pagi di Stasiun UI Depok, bergegas turun sesosok pemuda berusia mendekati 21 tahun. Raut mukanya yang polos dan dihiasi oleh kacamata yang tebal, kontras sekali dengan postur tubuhnya yang ‘berlebih’. Ditangan kanannya senantiasa tergenggam erat harian Pos Kota, yang katanya menjadi sumber informasi sekaligus inspirasi baginya. “Sebagai mahasiswa, dengan membaca ini Gue jadi lebih dekat dengan rakyat. Jadi Gue paham masalah aktual rakyat kecil”, demikian ujarnya lantang jika ada orang yang iseng menanyakan selera bacanya.
Wajahnya senantiasa menampilkan kesan ceria, dengan senyum ramah pada siapa saja, yang selalu menghias bibirnya. Pembawaannya yang supel, pandai bergaul, membuat siapa saja betah ngobrol dengannya. Rasa humornya yang tinggi, ditambah koleksi leluconnya yang norak dan kadang-kadang kampungan, akan memancing lawan bicaranya untuk tertawa tergelak.
Sebagai seorang mahasiswa, ia tergolong diatas rata-rata. Intelegensianya jauh diatas semua anak muda di kampung halaman aslinya, nunjauh di Sentiong sana, dimana ia berdomisili. Setelah kandas dari cita-citanya ingin masuk Tehnik, ia memilih studi di Hukum. Dan melepaskan kesempatan lain, ketika ia lolos diterima di Psikologi, perjaka berkulit sawo matang ini ingin tetap di jalur Hukum.
Namanya Barli Darsyah. Kawan-kawannya memanggilnya Barli, cukup sederhana. Sesederhana pembawaan orangnya, ia sudah puas dengan penampilannya sehari-hari; Kemeja dengan motif kotak-kotak kesayangannya, topi hitam penahan terik matahari yang sudah lapuk, Jeans belel yang menjadi favoritnya, dan tak lupa dibahunya diselempangkan tas dengan logo salah satu produk mie yang menurutnya amat bersejarah itu.
Barli senantiasa menyisihkan uang sakunya untuk ritual mingguan yang kudu dijalaninya. “Sekedar pelepas stress,” ujarnya kala ditanya akan kegemarannya ini. Yah, setiap minggunya pada hari Senin, selepas kuliah ia akan memimpin rombongan temannya untuk pergi menonton film bioskop dengan harga hemat. Secara bulat, ia memang telah didaulat untuk menjadi Koordinator, ‘Koorlap Nomat’, istilahnya anak-anak.
Dibalik semua itu, Barli dikenal sebagai pekerja keras disetiap kesempatan. Setiap ada event-event resmi, entah itu seminar, workshop, simposium, atau apapun nama lainnya, ia selalu dipercaya. Orang yang ditunjuk nomor satu sebagai rebutan para Koordinator adalah Barli. Semua pekerjaan yang dilimpahkan selalu sukses. Reputasinya selalu bagus disegala bidang, bahkan untuk tugas yang dirasa cukup mustahil. Apakah ada keberuntungan disisinya? “Gue selalu bersikap profesional. Dan tidak lupa pantang menyerah,” sahut Barli dengan senyum lebar menampakkan giginya yang putih.
*
Cerita ini diawali pada suatu pagi hari yang cukup cerah di Stasiun Cikini. Seperti rutinitas sehari-hari, Barli menunggu Kereta Api jurusan Depok. Ketika sedang termangu-mangu menunggu, matanya terantuk dengan seorang cewek. Entah mengapa, dirasanya cewek yang satu ini punya daya pesona. Barli yang sudah empat semester ini “menjomblo”, merasa menemukan gairah hidupnya kembali, setelah sebelumnya sempat putus asa.
Dalam kapasitas memori otaknya yang baru di-charge, Barli berusaha mengingat. Kalau tidak salah, tuh cewek sama-sama satu angkatan sama Gue di Fakultas. Tapi siapa yah namanya?. Barli merasa sering melihatnya, tapi setahunya cewek itu nggak pernah naik kereta, karena dia hafal anak-anak komunitas kereta.
Gayung ternyata bersambut. Entah karena apa, Cewek manis dengan bibir mungil dan rambut ikal sebahu itu mendekat kearahnya. Oh, namun ternyata ia menghentikan langkahnya. Rupanya handphonenya berdering, ia menjawab telepon itu. Lima menit kemudian, ia kembali berjalan ke arah Barli. Barli pun bersiap memberi sapaan. Hai, kok tumben. Rasanya Gue jarang lihat Lo, deh. Tapi, lagi-lagi beberapa meter dihadapannya, ada seseorang temannya yang menegur, ia terhenti dan mengobrol. Barli kecewa, ia penasaran dengannya. Siapa sih namanya, kok Gue bisa lupa?.
Ketika pandangan mereka bertemu, sang cewek tersenyum manis padanya dan melambai. Barli seketika jadi berseri-seri dan membalas dengan anggukan. Pada saat itu juga KRL tiba. Kereta gerbong pendek itu membuat para penumpang berebut naik. Barli yang hendak menunggu sang cewek naik, jadi terdorong arus penumpang naik ke dalam. Disela-sela himpitan penumpang, ia melihat sang cewek juga naik dari pintu yang sama. Akan tetapi, kejadian selanjutnya sulit diduga. Saat menapakkan kakinya dipintu, sang cewek manis tersenggol penumpang yang membawa karung bawaan. Ia terjatuh di peron, dan sepatu hak tingginya jatuh di rel. Barli yang melihat adegan tersebut, berusaha keluar untuk menolong. Namun sia-sia, badannya yang gemuk membuatnya susah melepaskan dirti dari himpitan orang sekitar. Kereta sedetik kemudian melaju.
Adegan selanjutnya hanya bisa Barli lihat dari jendela kereta. Ditengah kebingungan sang cewek manis, datanglah seorang cowok tampan berambut cepak, dari kaosnya Barli tahu itu anak FISIP. Sang cowok menegur ramah dan menawarkan bantuan. Dibantunya sang cewek berdiri, dicarikan tempat duduk, dipijatnya kakinya yang nyeri, dan diambilkannya sepatu yang jatuh.
Barli lemas melihat adegan romantis ditengah kesunyian Stasiun itu. Ah, seharusnya Gue yang melakukan itu, tapi kenapa Gue tersangkut disini?, gumamnya lemas.
*
“Namanya Karenina Lutfansha Scudetto Djojosentiko. Lahir di Kremlin, Rusia. Selain kuliah di Hukum, ia juga ambil D3 Sastra Rusia mulai semester kemarin.” Kata-kata itu keluar dari mulut Jutaya yang mengebul-ngebulkan asap rokok Mild-nya. Jutaya ini adalah seorang kawan akrab Barli yang berprofesi sebagai wartawan Freelance. Spesialisasinya mengumpulkan info apa saja, mengenai siapa saja, dalam waktu cepat, entah dari mana, dan bagaimana caranya. Nah, ceritanya setelah kejadian tempo hari, Barli curhat sama sohib-sohibnya, dan semua pada berniat membantu. And then, hari ini mereka berkumpul untuk membahas temuan Jutaya.
“Sebentar Jut, kalau Gue kritisi sih satu, kok namanya aneh bener, Lo ngarang yach?”, dialog ini disumbangkan oleh Darul, mantan aktivis proletarian yang hedonis sewaktu-waktu, ciri khasnya sebagai rakyat ditunjukkan dengan kegemarannya memakai benda yang katanya seperti milik rakyat banyak, yaitu sandal jepit swallow butut yang setia memperlihatkan jempol kakinya yang gede.
Semua yang ikut hadir juga mengannguk-angguk bego, yah, memang kalau di daftar absen cuma tertulis, Karenina, atau di Biro Pendidikan tertulis, Karenina L S Djojosentiko. Perihal ini kemudian dijawab dengan cerita panjang lebar dari Jutaya, sembari mengibaskan rambutnya yang gondrong tebal, tapi tanpa ketombe.
“Bokapnya Duta Besar yang senang keliling dunia, beliau paling doyan baca Anna Karenina-nya sastrawan Leo Tolstoy. Terus, favoritnya kalau pergi ya naik pesawat Lutfansha, karena disitulah ia ketemu jodohnya, yang notabene ibunya Karenina. Ketika Karenina lahir, bapaknya lagi menanam saham di Klub Lazio di Italy. Pas lima menit sesudah kelahiran, pamannya Karenina yang sedang ngambil S-2 Arsitektur di Italy telepon, katanya sahamnya naik gila-gilaan ketika Lazio jadi juara musim itu. Nah, peristiwa bersejarah itu langsung diabadikan di bayi yang lagi nangis itu. Kalo Djojosentiko kagak usah ditanya, itu memang nama dari leluhurnya, bapak-ibunya itu asli Madiun”.
“Wuow!” tampillah mulut-mulut monyong para punakawan yang hadir di situ. Semua takjub mendengar hasil temuan Jutaya. Cuma Malthus yang sedikit garuk-garuk kepalanya yang cepak duri landak. Sang calon Profesor yang rajin main ke CSIS, British Council, dan semua perpustakaan di penjuru Jakarta itu, setengah takjub dengan kemampuan Jutaya mengumpulkan data. Yang setengah lagi gengsi yang ditahan biar nggak hilang wibawa.
“Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membantu kawan kita ini?” sang Darul yang sok kritis melontarkan ucapan ini dengan tangan mengacung, disertai mulut melontarkan napas papermint. John yang terdekat terlontar beberapa depa sambil menutup mulut.
“Guampang!,” sang raja cinta, Omar, arab ganteng satu ini yang punya hidung bangir menukas.
“Ini beberapa langkah klasik yang harus ente lakukan,” ia berkata menggebu-gebu. Kakinya dihentakkan ala gypsi king.
“First, taburi ia dengan kado dan bunga. Second, isi hari-harinya dengan puisi dan syair romantis. Last, candle light dinner and ask her to dance in the moonlight.” Sabda ini ditutup dengan senyum manis. Wajah terpelongo muncul dari makhluk-makhluk jomblo yang berkumpul di pojokan tangga itu. Mereka pura-pura bego atau emang nggak nyadar, kalo yang ngomong ini juga jomblo yang senantiasa gagal bercinta.
Anyway, yang jelas Barli hari itu tidak pulang. Ia memutuskan menginap di kos-kosan temannya. Lho ia mau apa? Rupanya ia merenung dalam. Ia akan membuktikan tiga langkah klasik konvensional ala sohibnya Omar.
*
Cerita ini kita switch. Bagaimana sih kabar si Karenina? Ternyata pagi itu do’I lagi sial. Starlet kesayangannya ngadat, and tidak ada satupun teman cowoknya yang bisa ditebengin. Walhasil, jadilah dia naik kendaraan angkut massal, KRL.
Setelah kejadian memalukan di Stasiun Cikini itu –untunglah ada pria baik hati yang menolongnya--, sang Karenina sampai di Stasiun UI Depok. Bis Kuning rute lurus pertama langsung dihinggapinya dengan semangat empat lima. Sebelumnya ia melambai dengan mesra pada sang ksatria penolong. Jangan tertipu, senyum manis itu cuma lip service aja. Dalam hatinya, huh sebal minta ampun, mata cowok itu seraya ingin melumat tubuhnya hidup-hidup. Tangannya jahil sok akrab, belum lagi tutur katanya yang penuh bujuk rayu murahan. Kalau saja ia tidak ingat dengan jasa sang cowok, wah mana mau ia bermanis muka seperti memberi harapan pada makhluk itu. Yah itung-itung balas jasa lah. Tapi nomor telepon, eits nanti dulu.
Kenapa sih semua cowok itu brengsek? Ia sadar dirinya cantik luar biasa, atas-bawah, kiri-kanan, jauh-dekat. Donita, sang VJ MTV, lalu Cameron Diaz, ditambah Angelina Jolie, terus diramu tambah sedikit Diana Pungky sebagai muatan lokal jadilah dia. Cuma satu yang membedakan ia dengan wanita setipe kebanyakan, ia smart. That’s it, adagium yang berlaku di mata khalayak umum, yaitu, “pretty girls got no brain” tidak berlaku baginya.
Jangan salah, biarpun tidak pakai kaca mata, dari mulai filsuf kontemporer seperti Foucault dan Jacquez Derida, hingga pelopor pop art seperti Andy Warhol dan Salvadore Dali, bahkan futurolog Alvin Toffler hingga pemikir Islam modern seperti Mohammed Arkoun, semua ia kuasai benar. Cewek yang satu ini pelahap buku yang ganas.
Nah, maka dari itu nggak musim lah, cowok standar ibu kota yang jurus rayuannya cuma sampai level film American Pie. Pernah, suatu kali ada seorang pria menembaknya dengan bunga, setelah berhasil mengajaknya nonton. Apa yang dilakukan Karenina? Diterimanya bunga itu dengan tangan kiri, lalu ditunjuknya akar pohon yang menonjol dengan telunjuk kanannya. Ia berkata, “Akar adalah bunga yang meremehkan kemasyuran.” Sang cowok terdiam bengong, sembari mengernyitkan dahi.
Karenina membalik badan dan pergi meninggalkan sang cowok, “Maaf Ray, aku tidak mau, kita teman aja yah.”
Sang cowok masih belum tune in, “Karen, masalah akar itu?”
“That’s the word of Kahlil Gibran.” Ia menjawab perlahan sebelum menutup pintu. Sang cowok hanya bisa menatap gaun birunya yang perlahan menghilang di balik pintu.
Foolish man, you’re not worth it.
*
Eh, terus ceritanya gimana nih? OK gini kelanjutannya jali (baca: jalee! dengan logat betawi lagi teriak (baca tereak)). Keesokan harinya, sang Karenina yang punya tubuh nggak kalah yahud dengan Karenina fotomodel itu, tengah berjalan di lorong locker menuju kelas pancasila. Ia dikagetkan dengan seonggok benda aneh bin ajaib yang tergeletak tertempel di lubang kunci lockernya.
Apaan nih? Karenina berhenti memeriksa. Ternyata sebuah bungkusan dari kertas coklat. Wah, pakai surat berwarna hijau marun segala! Ia lantas meraih cepat secarik kertas tersebut. Diamatinya lekat-lekat dengan mata tak sabar. Diketik dengan Tahoma font 10 dicetak dengan printer deskjet.
Isi surat tersebut:
Ampuni aku telah mengirimimu surat ini. Tapi apa lacur, aku memang tak kuat untuk mendiamkan diri dan melihat pena yang bersedih tak kugoreskan. Aku terteror oleh pena yang biasa menggelinding di kertas kumal itu.
Aku ingin kembali mengarungi kehidupan yang layak sebagai manusia. Namun alangkah tidak mengenakkannya bila kenyataannya kau telah mencuri, atau boleh kau katakan, merampok hatiku. Hilang sama sekali. Tak ada yang tersisa. Semua kau ambil bahkan tak kau tinggalkan untuk seorang gadis manapun walau satu persen. Telah kau embat¹ semua hatiku, sehingga tak kurasakan lagi gairah hati yang melayang terbang untuk wanita lain.
Maka sempatkan hatimu menikmati hatiku yang telah kau bawa itu. Karena kemarin tak ada lagi yang harus disematkan dalam hatimu kecuali kehampaan untuk mencampakkan barang curian itu. Barang haram yang sangat berharga dan tak pantas untuk digunakan oleh orang-orang sesuci dirimu. Maka kalau kau tak gunakan hatiku tolong, kumohon dengan sangat, kembalikan padaku agar tentram hidup ini dan sekali-kali tidak merasakan penatnya tidur yang tak mengistirahatkan.
Karena hatiku telah tiada. Kau bawa. Kau buang di comberan². Dan aku ingin itu cepat kembali. Kau temukan lah di tempat kau membuangnya. Letakkan di bawah pohon rindang (dpr) gerbang FHUI kita. Benar-benar aku membutuhkan hati itu. Yang kemarin tak pernah kurasakan nikmatnya hidup. Yang terbuang dan terlantar antara kering dan gemeratak serpihan suara terbakar. Yang kerontang oleh deburan ombak dan kemilau kunang-kunang yang mati lampunya.
Kau, yang nanti akan berkata pengecut bagi kunang-kunang yang hanya sanggup keluar di malam hari sekalian begadang. Karuniailah hatiku senyummu yang terkulum di daun-daun melati.
Kau yang akan mencak-mencak karena ulahku yang tidak bermoral. Maka sekarang lumatkan moral itu di bibirmu yang tersungging. Karena moral sekarang adalah barang langka yang disukai para kolektor barang antik. Suka diletakkan di dalam rumahnya untuk hiasan atau barang Entertainment.³
Aku ingin bicara denganmu dalam bahasa tulis. Kau harus mengerti ini. Karena sebenarnya aku ingin juga bicara denganmu secara langsung. Tapi kepengecutanku telah menghambat keinginan itu. Sebenarnya ingin rasa hati mengadakan dialog Interaktif agar hati terklarifikasi. Namun kupikir kau belum mau mengadakan itu.
Sudahlah. Karena tak ada gunanya membahas keadaan yang memang seharusnya ada. Kupikir lagi, ternyata memang ini yang harus terjadi. Bertepuk sebelah tangan, kata orang. Dan kau hanya bisa membaca tulisanku. Yang mungkin tak kau suka. Atau memang kau muak sama sekali untuk melirik kiriman suratku.
Kemurungan ini menjadi keindahan tersendiri kalau kau rasakan. Karena dalam hidup memang penuh dengan kenyataan yang harus kau alami. Kemarin dan sekarang adalah bias kenyataan yang wajar dan patut didiamkan. Kesepian yang membumbung untuk membunuh dan meracuni hati. Menjadi kendala tersendiri, akhirnya menyuarakan keabadian rasa. Yang tercabik-cabik oleh kedurhakaan hati untuk benar-benar mengerti.
Di pagi, siang, sore atau malam hari ketika otakku benar-benar tercurah padamu kutikamkan carut-marut otak ke kertas dengan pena yang menggelinding. Dan aku bahagia dengan keberhasilan menulis untaian gombal ini. Kalau kau ingin tahu sampai kapan akah berakhir, maka aku sendiri tidak tahu akankah ada titik Nadhir(4) yang memberhentikan.
Tapi, ampuni lah aku. Kupikir aku tak usah mengkompromikan kunang-kunang dan melati karena itu cerita lama. Sekarang yang ada adalah kejujuran antar manusia yang, entah, mengapa harus dipertemukan. Pertemuan yang menyakitkan untuk tidak mengatakan menyesalkan. Kupikir andai aku tiada dan kau ada.
Kemarilah, mendekatlah padaku bersama kepengecutanku yang diucap oleh berpuluh-puluh mahasiswa FHUI ketika mereka tak sengaja membaca suratku. Atau ketidak jantanan yang hanya sebuah klise belaka dari iseng manusia yang tak punya kerjaan untuk memperbincangkan sesuatu.
Catatan:
1 Embat, berasal dari kata entah mana. Yang jelas dia berakar pada bahasa ibu, bahasa daerah. Oleh karena Indonesia kekurangan bahan untuk membahasakan perasaan hingga membutuhkan kata yang cocok untuk menjadi ungkapan hati.
2Tempat dimana kotoran selalu tetap ada dan kekal selamanya di sana, kecuali dengan adanya campur tangan manusia yang berbudi dan sadar terketuk hatinya atau hanya oleh sekedar orang upahan
3 Entertainment dari bahasa inggris. Sengaja kubuatkan foot note agar kau yang pandai bahasa inggris lebih ingat lagi akan kata ini. Mungkin ku mengartikan itu adalah semacam accessories. Atau entah kau mengatakan apa.
4 Suatu batas yang paling terbawah dari apa saja yang kita maksud. Darul, suatu tafsir di malam hari.
Gila, dashyat banget. Pagi-pagi udah dapat surat dari orang gila. Ini anak mana yang nekat begini. Suratnya sih boleh juga. Kayaknya penulisnya punya selera, tapi kok mau jadi pengirim anonim, malah bikin kesalahan.
Pikiran Karenina melayang-layang, otak cerdasnya berputar kesana-kemari. Tangannya lantas meraih benda yang tersisa dari bungkusan kertas itu. Apaan nih? Sebatang coklat Silverqueen? Oh masih ada ya, yang ngirim coklat model beginian. Karenina memasukkan coklat tersebut dan berlalu. Dari lirikan sekilas matanya yang tajam, ia menyadari pandangan tiga pasang mata dari lantai dua.
*
Brakk!! Darul yang sedang merapikan buku-bukunya terkaget-kaget. Locker di samping tempatnya duduk digedor kuat-kuat. Karenina yang melakukannya, ia sedang melotot sangar, lurus ke arah Darul.
“Ha.. hai, Kar?” Darul seperti salah-salah tingkah.
“Eh, Darul langsung aja yah, gue perlu info nih. Harap jawab dengan jujur,” Karenina lantas menghempaskan tubuhnya di samping Darul duduk. Darul tidak berkutik, tapi ia berusaha terlihat tetap tenang seolah-olah ‘biasa aja.’
“Siapa yang ngirim surat ama gue?”
Darul yang tidak menyangka akan datang serangan langsung ke jantung pertahanan, belum sempat mengatur posisi. Ia gelagapan.
“Udahlah Rul, gue tahu kok. Ada kebodohan pada si pengirim surat itu.”
“Maksudnya sih Ok, pake foot note segala. Tapi kok akibat menuliskan nara sumber, eh malah nama lu nyangkut. Hmmm,” lanjut Karenina panjang lebar.
Darul masih diam. Ia masih memilih jurus mutakhir dari sang lawan ini.
“So, mister ahli tafsir tengah malam?” Karenina mendekatkan mulutnya ke kuping Darul dengan nada suara dipelankan. “Siapa tuh makhluknya, yang nanya masalah titik nadhir sama elu?”
Ini cewek kebanyakan baca detektif Kindaichi, kutuk Darul dalam hati.
Hening sejenak.
“Udah deh. Lo gak usah jawab sekarang ntar gue juga pasti ketemuin makhluknya. Tuh, cewek lo lagi menuju ke sini,” Karenina bangkit berdiri dan mengerling ke arah seorang gadis berjilbab biru muda yang berjalan ke arah mereka.
“Sekarang lo selamet Rul, ntar awas lu,” nada suara yang riang lembut, Darul menatap sang penolongnya dengan mimik lega.
Wah, si Barli musti segera di-briefing sebelum ketahuan.
*
Layaknya sebuah film Hollywood, cerita ini tentulah diselingi dengan sebuah adegan keren lainnya. Kalau lurus terus tentulah garing jadinya.
Nero memarkir mobil sedan merahnya di pakiran belakang kampus FHUI. Ia menatap target sasaran dari dalam mobilnya. Ibnu yang duduk di sampingnya bergegas mengeluarkan buku sket ukuran A3 dan sebuah pensil gambar.
“Tuh yang itu, tuh,” Nero menunjuk seorang wanita manis berbaju putih yang duduk bersama teman-temannya di kantin.
Ibnu yang sangat berbakat, dengan cekatan mencorat-coret buku sketnya. Sepuluh menit kemudian sebuah sket close up dengan perspektif garis yang luar biasa bagus, layaknya karya maestro jebolan seni rupa ITB, diserahkan ke tangan Nero.
Nero bangkit keluar dari mobilnya, berjalan menuju kantin dengan buku sket di tangannya. Ia memilih duduk di pojok kantin. Posisi yang strategis sehingga sang target dapat menyadari kehadirannya. Dari pojokan itu, ia duduk memandang lurus sang target seraya asyik mencorat-coret buku sketnya. Diulanginya terus hingga sang wanita target benar-benar merasa ia adalah model sketsanya.
Setelah dirasa cukup, dia merobek selembar kertas buku sketnya dan memesan minuman. Sang pelayan yang mengantarkan minuman dimintanya untuk mengantarkan lembaran itu pada sang target.
Adegan berikutnya dapat diduga. Sang target melihat sangat surprise pada lembaran kertas itu, dan langsung menoleh ke arah Nero. Nero mengangkat gelasnya dan kelima jari kirinya direntangkan lurus ke depan, menunjuk bangku kosong di hadapannya. Sang wanita serta merta bangkit dan menuju ke meja dimana pemuda berpenampilan keren tersebut duduk.
“Halo Vera,” Nero memulai percakapan dengan sang target yang bernama Vera tersebut. Matanya tak bisa lepas dari sibakan rambut Vera.
“Ini bagus sekali, Nero aku gak tahu kamu bisa gambar sebagus ini. Ini untuk ku?” Vera masih terkagum-kagum dengan wajah sumringah.
Nero mendekatkan wajahnya, dan berkata lembut menggoda, “I’ll sell it for you.”
Vera membalas tersenyum, “Hmm, I can not afford this.”
(to be continued)