Monday, April 10, 2006

Jika Ilmu Pengetahuan Bisa Romantis

Petualangan 10 anak belia dan eksplorasi mereka pada ilmu pengetahuan. Sebuah tema alternatif dalam industri novel yang dikungkung tema-tema percintaan. Jika pengetahuan adalah sebuah keindahan yang lebih hebat daripada cinta.

Sebuah tema yang sudah jarang diangkat. Pentingnya arti menuntut ilmu, adalah makna sentral novel ini. Ketika dihadapkan pada sebuah kondisi yang membuat miris, kita dikejutkan berkali-kali dengan gejolak muda para tokoh dalam cerita ini. Dihiasi dengan eksplorasi mendetail akan pulau bangka belitung (Belitong kala itu), semuanya disajikan dengan gaya bertutur yang menghibur.

Adalah Ikal, tokoh sentral dalam novel ini. Kisah berjalan melalui sudut pandangnya dalam mencermati realita kehidupan. Saat ia menyaksikan satu persatu benturan-benturan ketimpangan hidup ini. Sebuah jalinan kisah suka dan duka, perputaran yang membuat pembaca mengalami gejolak perasaan naik dan turun, rasa miris akan ironi, gelak tawa akan kekonyolan para tokohnya, juga golakan perasaan pada saat sorak kemenangan.

Laskar pelangi adalah 10 orang anak pulau Belitong yang disatukan saat hari pertama mereka masuk sekolah, di sekolah Muhammadiyah yang dilukiskan laksana gudang kopra. Mereka sangat miskin, tidak mampu bersekolah di sekolah negeri atau sekolah PN Timah (yang diceritakan sebagai sekolah elit khusus anak pegawai kelas tinggi PN Timah). Temui Lintang sang jenius, anak nelayan pedalaman yang mampu memcahkan soal-soal fisika yang rumit hanya dalam hitungan detik, Mahar yang seniman dengan bakat alam yang kerap membuat orang tercengang, Trapani yang tampan namun cinta ibu, Sahara, muslimah yang galak gemar mencakar, kucai yang merepresentasikan sosok politikus sejak lahir, A kiong yang polos namun figur sobat sejati, Samson yang perkasa, Harun yang 15 tahun lebih tua karena terbelakang, dan syahdan yang tidak menonjol namun kelak paling sukses diantara mereka. Juga Flo, perempuan tomboi yang meninggalkan sekolah elitnya untuk bergabung dengan laskar pelangi.

Lembaran demi lembaran membawa kita melintasi 9 tahun mereka berpetualang di sekolah itu hingga menjadi apa mereka disaat dewasa kelak. Kadang membuat kita berdecak kagum melihat rentetan peristiwa yang dialami anak-anak ini. Mahar dalam usianya yang belia telah mampu menjadi arranger sebuah komposisi musik yang rumit perpaduan antara tabla, sitar dan electone yang menghasilkan penyajian menggugah lagu owner of the lonely heart-nya yess dan light my fire-nya the doors. Mahar juga mampu membuat koreografi kontemporer ala suku Masai afrika pada saat karnaval sekolah. Kemudian lintang, bocah ini adalah sosok jenius yang menonjol dalam segala mata pelajaran. Ia mampu menguasai kalkulus sewaktu SD, dan teori fisika optik di bangku kelas dua SMP, mampu menyelesaikan hitung-hitungan matematika yang paling rumit dalam hitungan detik tanpa membuat coret-coretan. Dan sosok laskar pelangi lainnya dengan keunikannya masing-masing.

Andrea hirata menggunakan model penulisan yang masih mengikuti genre ensiklopedis, dengan menebar penuh banyak informasi dari berbagai referensi. Kadang suatu istilah melayu yang ia pertahankan, dan di lembaran lain banyak istilah botani, ilmu-ilmu eksakta, juga ragam budaya masyarakat pulau belitong yang khas. Namun ia meramunya dengan penuturan yang sedikit mengembalikan memori pada cerita-cerita anak asrama model Enid Bylton.

Sebuah renungan dalam memandang pendidikan masyarakat kita di usia dini. Penulis menyajikan cerita ini dengan meluapkan kritik dan kegundahannya pada setiap kejadian yang dialami para tokoh. Juga disertakan kekuatan referensinya dalam membedah setiap detail keindahan pulau belitong. Meskipun dibeberapa bagian masih tampak berlebihan dan dipaksakan, namun pembaca menjadi jelas akan perbedaan kelas, ketimpangan sosial, dan kehidupan kalangan miskin di belitong kala itu. Juga pembaca akan tersenyum simpul dalam beberapa cerita, seperti cinta antar etnis sang tokoh dengan aling, bocah perempuan cina yang masih sensitif kala itu. Atau pertemuan dengan Tuk bayan tulla yang dukun misterius, atau dengan Bodenga sang pemuja Buaya yang dilukiskan seperti Bushman dalam film God Must Be Crazy.

Jika melihat setting latar cerita, sangat identik dengan tahun 80-an. Namun banyak sekali jelajah intelektual yang dilakukan anak-anak ini dari bangku SD hingga SMP. Mereka tahu akan cincin newton, robert hooke, metode eiminasi gaus-Jordan, tennese waltz, dan ragam referensi lainnya. Sungguh sedikit tidak masuk akal melihat pengetahuan yang dicapai anak-anak seusia itu, apalagi di lokasi dan tahun itu. Namun itu justru kelebihan dari novel ini. Semuanya terjalin indah dan nikmat. Sebuah novel yang patut dibaca.

Wahyuningrat
Penulis adalah pemerhati novel
dan pengasuh acara talkshow bertema sosial aktual di sebuah televisi

0 komentar: