Sunday, June 17, 2007

Paris Part Deux

Ada sebuah literatur yang menginspirasi perjalanan ini, yaitu novel terbaru Andrea Hirata berjudul Edensor. Kawan saya Reni Rawasita berbaik hati membawakannya ke Utrecht untuk saya. Sisanya adalah masukan sana sini dari kawan-kawan dekat. Baiklah kisah ini pun dimulai.

Ok Paris yang indah, tidak perlu diperpanjang lagi. Saya akan membawa anda ke sudut pandang yang berbeda dari sekedar menulis ulang brosur wisata. Menurut sobat saya Radja, ada beberapa tempat wajib kunjung kalau kamu ke Paris:

Tour Eiffel, Musee du Louvre, Notre Dame, Pantheon Sorbonne, Arc de Triomphe, place De la Concorde, Basilique Du Sacre Coeur, Fountaine Saint Michel, dan Champs Elysees.

Well setelah mengubek-ubek daerah seputar Eiffel, naik ke atas tower dan berfoto-foto norak, ternyata benar adanya rute Subhanallah (Edensor, hlm 78) seperti diceritakan, inilah jalur yang dilintasi Ikal dan Arai, ketika sampai Paris, naik Metro bawah tanah turun di stasiun Trocadero. keluar tangga keatas, kehalang tembok bangunan, lalu ketika tembok hilang, nengok langsung ke kiri, nah dalam cerita si Arai langsung sujud syukur sambil teriak Subhanallah. This is truly the best view. Sayangnya pertama ke Eifel saya turun di stasiun Bir-Hakeim, gara-gara petuah backpacker asal Amrik di Hostel, dimana pemandangannya tidak se-amazing kalau turun di Trocadero.

Hmmm setelah itu Louvre. Monalisa ternyata tidak sebesar yang saya bayangkan, piguranya kecil, terus melihat lukisan Madonna of the Rock, dan mengajukan pertanyaan bodoh,

“Then where is the last supper, monsieur?

Dan dijawab sang guide dengan tatapan aneh, “It’s in Milan, Sir,”

Saya lantas bergegas ngeloyor melihat piramida terbaliknya Langdon. Di Louvre sedikit diwarnai insiden uji nyali foto session di depan Monalisa. Berhasil.

Di Champs Elysees, tak tahan melihat beberapa spot dalam film Devil Wears Prada, saya akhirnya memborong beberapa potong kemeja Gucci, satu stel jas Dolce and Gabbana, dan terakhir dua buah tas kulit Louis Vuitton untuk yayang.

*Plaak! Woi bangun! Ngayal mulu*.

OK agak surealis nampaknya, namun cerita yang dibawah ini sangat valid. Sebagai mantan copywriter, tentunya sangat lumrah kalau ingin melihat kantor pusat Publicis, Adv Agency Perancis yang terletak persis di seberang kantor Ogilvy Paris di L’Avenue des Champs- Elysees.

Nah ternyata kantor pusatnya Publicis juga berfungsi sebagai restoran, bar, toko buku, toko kelontong, dan juga apotik. Apakah ini juga berarti tanda-tanda suram masa depan periklanan global, sehingga mereka banting setir diversivikasi usaha?

Yang jelas disana saya berhasil membeli apa yang saya idam-idamkan. Kaviar. Makanan dewa. Tadinya saya cuma menengok dari balik kaca, Beluga Caviar, favoritnya James Bond dalam film Goldfinger, anjrit, 795 Euro. Gimana rasanya memakan telur ikan dari laut Kaspia ini yah. Namun ternyata tersedia juga kaviar buat turis kere macam saya, pas di list harga itu terlihat kontras, dari 3 digit eh ada juga yang cuma 5, 80 euro. Lumayan, akhirnya saya bisa juga makan kaviar. Saya beli sekaleng, dan saya oles ke biskuit dan makan penuh rasa bangga di bangku taman Sacre Coeur. Hmmm, my first Caviar. sumpah langsung laksana menjelma menjadi dewa beneran.

Lanjut ke tempat kedua yang disebut Andrea Hirata. Saya berkunjung ke makam Jim Morrison (Edensor, hlm 92). Vokalis The Doors. Anjrit jauh bener ini pusara, letaknya nun jauh di Cimetiere du Pere-Lachaise. Disana, di depan makamnya saya menyulut rokok kretek Starmild saya, penghormatan terhadap pelantun lagu Come on Baby Light My Fire-itu. Setelah itu saya diusir oleh Satpam wanita karena TPU ini akan segera tutup. Sudah jam 6 sore.

Rokok kretek juga menjadi senjata ampuh saya dalam mempromosikan keindahan Indonesia, di hostel Woodstock dekat MontMartre, saya menjadi tamu backpacker asal Indonesia perdana disitu. Sayangnya saya tidak membawa stiker atau apalah yang khas Indonesia buat ditempel di tembok, seperti backpacker asal negara lain. Jadinya ketika, ngobrol-ngobrol dengan backpacker asal Denmark, Amrik, dan Jerman malam itu, saya membuat mereka terkesima dengan rokok yang saya tawarkan. “Wow Delicious,” “Sweet Flavour,” “God Damn long.” Dan setelah beberapa dongeng, mereka tertarik berkunjung ke Indonesia, karena sebelumnya rata-rata salah kaprah menyangka Indonesia itu adalah negara tetangga Mexico. Gile gue jadi duta budaya gini.

Di Sacre Coeur yang indah, selain melihat banyak pasangan muda, straight maupun Lesbi, bertukar kuman melalu transfer aura dimana-mana. Keindahan pemandangan juga disemarakkan dengan, atraksi magic oleh para magician asal benua Afrika. Modusnya adalah, mereka menegur ramah, terus meminta tangan kita memegang ujung seutas tali, lalu dengan kecepatan menakjubkan mereka memintal menjadi gelang cantik, lalu diikat deh di pergelangan tangan, terus minta duit deh. Semua sambil ngobrol-ngobrol, “This is Magic, make a wish,” dan sebagainya. Hebat yah? Sungguh kreatif.

Saya sih tidak berminat, namun salah seorang kawan saya, Novi, merelakan diri dimagic. Toh sukarela bayarnya. Dan benar ternyata, selain mendapat gelang cantik, impiannya juga tercapai, malamnya dia buka email dapat nilai bagus dalam mata kuliah paling susah. Kalau anda berminat mencoba magic ini usahakan cari yang asal Kamerun, nicaya lebih ampuh dari yang asal Senegal.

Cerita menjurus criminal lainnya saya alami ketika naik Metro bawah tanah, modus terbaru yang belum pernah dijumpai, namun pernah dipraktekkan di Jawa Tengah. Satu orang naik di depan saya terus mendadak mencari-cari sesuatu di bawah, menarik-narik kaki orang-orang mencari sesuatu yang mungkin saja diinjak, dia beralasan sedang mencari tiketnya yang jatuh, eh terus ketika ketemu tiketnya, dia langsung turun kereta tepat sebelum pintu menutup, dan ternyata mereka ada dua orang. Satunya lagi berdiri di belakang korban. Untunglah berkat petunjuk film EuroTrip, saya terhindar dari bencana, karena saya menaruh uang dan Paspor saya di tas bebas copet seperti di film tersebut.

Setelah puas berfoto di depan gedung pertunjukan legendaris Moulin Rouge yang terletak di red light districtnya Paris. (terlihat biasa saja setelah dijejali dengan pemandangan yang lebih indah di Amsterdam) dan kehujanan saat mencoba mencari dimana letak supermarket Carrefour pusat, saya akhirnya menuju Sorbonne.

Sorbonne. Andrea Hirata menyebut-nyebut tentang altar suci Sorbonne (Edensor, hlm 34, vide Sang Pemimpi hlm 53, vide Laskar Pelangi hlm120). Dimanakah itu? Apakah Pantheon Sorbonne yang merupakan penghormatan terhadap Voltaire, JJ Rosseau, Victor Hugo, dan banyak lagi? Atau Place de la Sorbonne maksudnya? Entahlah yang jelas demi mencari tempat wajib ini, saya nekad masuk ke gedung Universitas Sorbonne (Paris IV dan Paris V) meski hampir dilarang satpam, namun dengan bahasa perancis yang pede saya bilang saya cuma mau numpang lewat doang, nyari altar suci, yang sayangnya nggak ketemu juga tuh di dalemnya.

Berikutnya adalah mengunjungi tempat nongkrongnya Ikal dan Arai, Café Brigandi et Bougreesses. Letaknya cuma ditulis di pojokan Sorbonne (Edendor, hlm 111 dan 165) kebayang kan gedenya Sorbonne, pojokan sebelah manakah letaknya kafe ini? Yang jelas dua hari bolak balik saya tidak menemukan letaknya, termasuk sudah nanya sana sini, termasuk bertanya kepada beberapa mahasiswi lokal yang bertampang pub crawler dan polisi culun yang cuma bisa bilang, "Disini banyak banget kafe." Karena saya masih penasaran, mohon info petunjuk jika ada yang tahu dimanakah gerangan letaknya kafe yang menjadi saksi bisu start point perjalanan keliling Eropa-Afrika Ikal dan Arai itu berada, ataukah kafe itu hanya sekedar fiksi.

Terakhir, menuruti titah Radja bahwa ada penjual souvenir murah di dekat Pantheon, dimana penjualnya bernama Mr Solomon, dan student Indonesia pasti dapat diskon murah. Well, saya tidak berhasil menemukan toko itu. Yang ketemu malah toko souvenir tepat di sebelah Café Solomon. Memang harganya paling murah banget, namun tidak ada diskon buat orang Indonesia dan si penjual tidak kenal sama Radja. Hehehe. Salah tempat kayaknya.

Baiklah demikian sekelumit cerita saya mencoba menapak tilasi perjalanan Ikal dan Arai dalam novel Edensor. Perjalanan 4 hari ini menelan biaya total 155 euro termasuk makan, akomodasi, dan transportasi. Penulis juga tidak mengalami kesulitan dalam mempraktekkan bahasa perancis super pas-pas an-nya, kecuali saat membeli roti pain khas perancis yang keras luarnya namun lembut dalamnya.

Andrea Hirata memberi PR baru, tujuan terdekat berikutnya adalah ke Groningen, mencoba bertemu Mevraouw Schoenmaker (hlm 191) dan meminum sebotol Xian Ling (hlm 203). Juga sebuah inspirasi baru akan sebuah perjalanan terakhir, Tunisia terdengar lebih menarik dibandingkan mengusap dada patung perunggu Juliet (hlm 251) di Collosseum Verona.


Si la poussiere emporte tes reves de lumiere
Je serai ta lune, ton repere
Et si le soleil nous brule
Je prierai qui tu voudras

Pour que tombe la neigi au Sahara

1 komentar:

Asmayani Kusrini said...

catatannya menarik sekali. Sayang saya belum membaca Edensor dan belum tertarik untuk membacanya...(soalnya saya agak kecewa dengan Laskar Pelangi).

Salam,

R/